Judul : Complicated Thing Called Love
Penulis : Irene Dyah
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan Pertama, Agustus 2015
Tebal : 176 halaman
ISBN : 978-602-03-2557-6
Kategori : Novel
∞
“Cinta memang buta. Kalau tidak buta, itu namanya matematika.” – hlm. 162
∞
Jika saya bisa menyingkat isi cerita novel Complicated Thing Called Love (CTCL) ini, mungkin saya akan bilang bahwa novel ini berisi tentang kedilemaan Nabila sebelum menikah.
Cara bercerita Mbak Irene Dyah memang benar-benar tidak biasa. Intro yang berjumlah lima, menyuguhkan kisah cinta yang berbeda-beda yang pastinya mampu mengaduk-aduk emosi pembaca. Kalimat-kalimat dalam cerita yang Mbak Irene rangkai terasa sederhana dan indah. Dengan latar yang tampak benar-benar asli.
Namun di balik keunikan cara penyampaian novel tersebut, saya sedikit kebingungan di awal karena cerita yang sebenarnya bukan diperuntukkan untuk si tokoh utama. Padahal, di awal saya sudah jatuh cinta pada kisah cinta di intro satu yang sayangnya memang tidak untuk dibahas secara mendalam pada novel CTCL tersebut.
Untuk karakter tokoh, saya merasa eksplorasi tokoh Bayu dan Bagas sangat terbatas. Saya tidak sampai dibuat klepek-klepek oleh keduanya yang sebenarnya jika dibayangkan secara visual akan terlihat sangat tampan seperti tokoh-tokoh keren di manga.
Saya berikan bintang 3.5 untuk CTCL, masuk ke 4 boleh lah. Setengahnya untuk bonus karena saya suka cover-nya. Manis.
Beberapa konsep dan pemikiran tentang cinta memang kental betul dalam membentuk novel tersebut. Sehingga saya menandai beberapa bagian novel yang (uhuk) membuat saya sedikit berpikir, atau bahkan diam sejenak, sesekali juga menghela napas karena menyadari mungkin itu akan menjadi relatable di kalangan wanita seusia Nabila (atau saya beberapa tahun lagi).
Entah bagaimana, saya lebih menikmati rangkaian kisah teman-teman Nabila. Mungkin saja penulis sedang menyiapkan kejutan untuk penggemar Sora-Langit, Dewa-Dewi, Aalika-Rain, dan Dania-Casper. Siapa tahu?
Beberapa bagian favorit saya :
- “Salju di puncak Fuji-san itu seperti perasaan dua manusia yang merasa cocok, kemudian memutuskan membina rumah tangga bersama. Barangkali perasaan itu bisa hilang, menyurut, tak tampak dari luar seperti salju puncak Gunung Fuji pada musim panas. Tapi sebetulnya dia tetap ada di sana. Dan, perlu ada musim dingin untuk selalu menambah volume perasaan itu, mengembalikan eksistensinya agar selamanya tetap bertahan.” – hlm. 87
- “Ketika situasi meruncing, manusia seringkali menjadi tumpul. Itu kodrat.” – hlm. 142
- “Cinta memang buta. Kalau tidak buta, itu namanya matematika.” – hlm. 162
- “At your own time, everything will be fine. Even a broken heart.” – hlm. 217
Karra
woah…. reviewnya mala simple banget….
ngena semuanya. keke
^^