
001
kuharap kita masih punya waktu nanti.
.
.
Aku duduk di teras rumah, persis seperti apa yang biasa ayahku lakukan di pagi hari, minus koran dan kopi hitam. Bedanya, hari ini sudah sore meskipun langit tidak berwarna jingga. Hujan turun deras, membuat celanaku bermotif bintik-bintik dari cipratan air hujan. Sebentar lagi, katak akan membuat paduan suara, menyebalkan. Aku tidak pernah menyukai hujan, perasaanku bawaannya buruk kalau hujan mulai turun. Tapi lebih buruk lagi perasaanku ketika mendengar kamu mengucapkan kata nanti.
“Next time, aku ajak kamu ke restoran yang aku suka banget. Menu ikan asam manisnya favoritku,” katamu.
Kali pertama adalah ketika aku berniat mengajakmu makan malam. Apa salahnya, sih, teman mengajak makan malam? Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin kita tidak bisa disebut teman, jadi apa? Kenalan? Acquaintance? Kolega? Susah sekali rasanya memberi sebutan pada kita. Memikirkannya saja seperti mau mampus.
Ikan asam manis adalah masakan netral menurutku, siapa yang pernah gagal memasaknya? Tapi kuiyakan saja, karena katanya kalau aku terlalu memaksa, aku akan dicap murahan. Perempuan selalu begitu, tidak boleh bicara banyak tentang apa yang mereka inginkan, katanya. Menunggu saja. Perempuan selalu saja dilibatkan dengan kata kerja pasif yang kadang membuatku tidak sabar.
Sudah berapa lama, ya, sejak waktu itu? Tiga bulan? Atau lebih? Aku juga tidak tahu pasti. Yang jelas, kalau aku saja sampai lupa, artinya itu sudah lama sekali.
Kali kedua, rasanya aku kamu bilang nanti perihal video games yang akan kita mainkan bersama. Nanti katanya, waktu kamu sudah tahu cara mainnya, kamu akan mengajariku dan kita akan bermain bersama seperti dulu-dulu. Tapi sampai sekarang tidak ada kabar darimu. Entah karena kamu bermain dengan orang lain atau kamu meninggalkan video games itu di sudut lemarimu dan tidak pernah memainkannya. Tidak ada yang pernah tahu.
Nanti berikutnya, kamu memintaku menilai sendiri sifatmu. Nanti berikutnya, aku harus menunggu waktu untuk berbicara denganmu. Nanti berikutnya, aku belum tahu apa lagi. Perlahan, kamu akan menjadi kumpulan kata “nanti” dan aku tidak tahu apakah akan ada sesuatu yang tidak perlu menunggu nanti?
Lalu, bagaimana jadinya jika kita tidak punya waktu lagi?
*
*
Ditulis untuk #52WeeksWritingChallenge yang dibuat untuk diri sendiri. Supaya bisa kembali nulis lagi.
Leave a Reply