credit : www.soultravelmultimedia.com
Ketika Kau Merasa Rindu
by dhamalashobita
*
“Lalu, di mana aku bisa menemuimu, ayah?”
*
Rasanya ini seperti pintu surga. Semua serba putih. Jernih dan bersih, jelas-jelas berbeda dengan gubuk yang kutinggali berbelas-belas tahun lamanya. Berantakan, reyot, dan kotor penuh debu.
Hanya dengan berdiri di ambangnya, aku bisa merasakan rasa sejuk yang mungkin hanya bisa kudapatkan di lereng-lereng gunung yang letaknya pastilah tidak dekat dengan rumahku. Padahal, bisa kupastikan juga di sini tidak ada pendingin ruangan. Alat ciptaan manusia itu tidak akan berfungsi dengan baik di sini, di ruangan yang luasnya tidak terhingga, yang aku sendiri pun sangsi jika ruangan ini memiliki ujung.
Semua orang berpakaian sederhana, tanpa perhiasan. Hanya celana pendek putih, dengan kaus putih polos tanpa corak atupun tulisan. Mereka tidak mengenakan sandal, apalagi sepatu pantofel kulit yang mengilap karena terlalu sering dipoles, ataupun sepatu-sepatu berhak tinggi yang membuat tumit para wanita sakit. Semua orang berjalan penuh senyuman. Tidak ada wajah merengut karena lelah, tidak ada juga wajah-wajah penuh amarah.
Dan dari sekian banyak orang yang berlalu-lalang di hadapanku, aku melihat Ayah.
“Ayah.” Aku memanggil lirih, nyaris tidak terdengar. Tetapi semua orang yang kulihat dari ambang pintu itu menoleh, seolah aku memanggil dengan teriakan yang sangat keras. Semua orang memang menoleh, termasuk ayah.
Ayah tersenyum, melangkah pelan ke arahku sementara orang-orang lainnya kembali melanjutkan perjalanan. Kemudian dia berdiri tepat di depanku, berbataskan pintu yang kedua daunnya terbuka lebar. Kuulurkan tanganku perlahan untuk menyentuhnya, tapi percuma. Tidak ada tekstur kasar kulitnya yang gelap, tidak ada pelukan hangat yang biasa kudapatkan ketika aku rindu. Yang ada hanya sebuah selaput bening yang membatasi kami untuk saling menyentuhkan tangan.
Aku berhenti berusaha untuk menggapai tangannya. Eksistensinya memang terasa begitu nyata, tetapi rasa-rasanya aku tidak akan bisa merasakan bagaimana tangannya mengelus rambutku penuh kasih sayang. Menyebalkan memang, tetapi bagiku melihat senyumannya sudah lebih dari cukup. Pun besok-besok aku mungkin tidak bisa bertemu dengannya lagi. Jadi ini sudah lebih dari cukup.
Kuputuskan untuk berbalik. Rasa sejuknya ruang tadi semakin lama semakin terasa jauh. Hangat mulai menjalari tubuhku, hingga bulir-bulir cairan mulai membasahi pelipisku. Dominasi warna putih kebiruan yang baru saja kutinggalkan berganti merah dengan sedikit gradasi kuning. Panas itu kian menjalari tubuhku, hingga kurasa aku tidak sanggup lagi untuk melangkah. Tubuhku mungkin sudah kehilangan hampir setengah cairannya. Tidak ada air untuk melepas dahaga, bahkan ketika tenggorokanku terasa nyaris terbakar. Berhentilah aku di depan satu pintu lagi, pintu yang mungkin membawaku ke ruangan lain.
Banyak orang melakukan visualisasi pada tempat menyeramkan ini. Mereka menyebutnya neraka. Dari ambang pintu, lagi-lagi mataku melihat ke dalam. Di dalam, warna merah mendominasi. Ada bunyi bara api, juga suara jeritan dan lenguhan orang-orang yang menyakitkan jika kaudengar dan hayati lebih dalam lagi. Semua orang seperti sangat kesakitan. Orang-orang berlalu lalang dengan langkah lambat karena kaki mereka terikat oleh rantai besi. Semua menunduk, sambil menangis tersedu-sedu. Dan setiap air mata yang menetes ke lantai akan menimbulkan bunyi seperti bara yang baru terbakar, menyala, membara dalam gelap. Ya, gelap. Satu-satunya penerangan di ruangan itu adalah api-api tersebut.
Dan lagi-lagi, aku melihat ayah dari kejauhan.
“Ayah,” ujarku lirih. Alih-alih berhenti, ayah malah tetap berjalan. Mengabaikanku. Jadi kuputuskan untuk memanggilnya lebih keras.
“Ayah!”
Ia menoleh, sontak menyeret beban entah berapa kilogram yang menjerat kakinya itu untuk menemuiku di ambang pintu. Kami berdiri berseberangan, seperti cermin yang memantulkan bayang-bayang. Aku menangis. Wajah ayah penuh luka sementara aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah bahkan tidak dapat mengusap air matanya karena kedua tangannya diikat oleh rantai besi lainnya.
Belum sampai rinduku terbayar, dua orang algojo menarik tangannya menjauh. Seolah menemuiku adalah kesalahan besar yang dilakukan ayah. Mereka menyeretnya, menendangnya hingga jatuh berlutut kemudian memukulinya. Aku menangis. Dan ketika itu, ayah berbalik menatapku sambil tanpa suara menyuruhku segera pergi.
“Kembalilah ke tempatmu.”
Isyarat itu keluar dari mulutnya, sesaat sebelum aku kembali.
*
“Jangan macam-macam!”
Satu bisikan itu membuat lamunanku buyar. Aku melangkah mundur. Kakiku gemetar hebat ketika kuintip sedikit apa yang ada di hadapanku. Bukan visualisasi pintu surga yang menenangkan, pun neraka yang menyeramkan. Hanya ada tebing-tebing curam yang dilapisi rumput-rumput di puncaknya, kemudian tanaman-tanaman parasit liar di beberapa dinding tebing di seberang.
Potongan-potongan gambar melintas di benakku, menjadi sebuah putaran ulang film yang membuatku melangkah mundur lebih jauh. Kaki yang mungkin akan membawaku jatuh tergelincir dari tepian tebing, diriku yang berjalan tanpa henti di sebuah savana luas, rumahku yang sunyi tanpa suara gitar tua ayah, hingga kepergian ayah yang terjadi tiba-tiba.
Aku ambruk. Jatuh di kakiku sendiri, kemudian hanya bisa memeluk lututku kaku sambil menangis. Aku pikir aku hanya ingin menemui ayah.
“Seyakin apa kau dapat menemuiku? Apa kau yakin kau sudah cukup baik untuk dapat menemuiku di surga?”
Suara ayah. Ada kudengar sebuah bisik dengan kalimat tanya. Lalu, bagaimana cara menjawabnya? Apakah aku yakin aku sudah cukup baik untuk dapat menemuinya di surga?
“Kau belum cukup baik. Tidak akan pernah ada orang yang cukup baik untuk pergi ke surga. Pun aku. Maka, belum tentu kau dapat menemuiku di sana.”
Benar. Aku belum cukup baik, begitu juga dengan ayah.
“Kau akan menemuiku di neraka? Apa kau pikir kau bisa dengan mudah menemuiku di sana? Bahkan kau sekarang sudah hidup dalam nerakamu sendiri, dan kau masih belum bisa menemuiku. Orang-orang keji, orang-orang yang hatinya dipenuhi dengki, iri hati, orang-orang yang selalu memfitnah, juga orang-orang yang hanya bisa berpikiran pendek apalagi berniat mengakhiri hidupnya. Jika kau termasuk salah satu di antara mereka, kau juga tidak akan bisa menemuiku, meskipun jika kau dan aku sama-sama berada di neraka.”
“Lalu, di mana aku bisa menemuimu, ayah?”
“Dalam tiap untaian do’a yang kau panjatkan. Dalam kasih yang kau berikan kepada sesama di sekitarmu. Dalam tiap kebajikan yang kau lakukan di setiap napas kehidupan yang kau jalani. Lewat sana aku akan selalu mendampingimu, anakku. Lewat sana, meskipun kau tidak bisa melihatku, akan selalu berada di sisimu, juga merasa bahagia lewat semua kebajikan yang kau jalani sebagai lakumu.
Ketika kau merasa rindu, jangan buang air matamu. Jangan pernah berpikir untuk menyusulku. Ketika kau merasa rindu, ingat bahwa kau bisa mengirimiku pesan lewat do’amu. Atau jika kau masih juga merasakan rindu itu, cukup pulang dan peluk ibumu. Mungkin kau lupa, ada napasku yang masih tersisa dalam hati, jiwa, dan raga ibu. Ingat, kau tidak pernah sendiri ketika kau merasa rindu.”
fin.
Pangkalan Kerinci, 13 Oktober 2015
Author’s Note : Tulisan ini diikutsertakan pada tantangan #NulisBarengAlumni @KampusFiksi
masmas cakep
Wlgdn, dgd itu apa, mba? Typo atau gmn? Sy bacanya dr hape.
dhamalashobita
Kalau dibaca via laptop sepertinya tidak ada yang wlgdn itu, Mas. Mungkin karena di hape jadi spasi2nya kan kadang aneh.. ^^”
Fajriatun Nur
Jadi tokoh ‘aku’ sebenarnya belum mati kan?
dhamalashobita
Belum kok.. hehehe
Kumpulan Tulisan #Ayah | #KampusFiksi
[…] Belum sampai rinduku terbayar, dua orang algojo menarik tangannya menjauh. Seolah menemuiku adalah kesalahan besar yang dilakukan ayah. Mereka menyeretnya, menendangnya hingga jatuh berlutut kemudian memukulinya. Aku menangis. (Ketika Kau Merasa Rindu, sebuah cerpen karya Dhamala Shobita, alumnus KF4, bisa dibaca lengkapnya di sini.) […]
[Ficlet] Ketika Kau Merasa Rindu | saladbowldetrois
[…] pernah di-posting di sini dengan judul dan isi yang […]