Satu dua kali aku datang kemudian mencuri-curi pandang. Sadarkah kau?
.
Bunyi es batu beradu pada gelas plastik—sesekali suaranya beradu pada gelas kertas, sesekali dengan mug keramik. Suara tuangan susu dari kotak kertas ke dalam gelas, kemudian gaduh blender, sesekali shaker. Kira adalah pecinta suara-suara tersebut, ditambah aroma kopi yang menguar kuat-kuat memenuhi ruangan. Bagi Kira, tempat itu memang tidak menyuguhkan kopi seenak kedai kopi milik barista terkenal se-ibukota, tetapi Kira akan memilih kedai kopi yang kini didatanginya jika ia harus memilih satu di antara dua.
Setiap kali datang, Kira selalu duduk di meja panjang yang punya kursi tinggi sejajar. Kira menyukai posisinya karena dari sana, dia bisa mengedarkan pandang ke sekeliling. Bukan ke sekeliling ruangan tempat para pengunjung sibuk duduk dan bercengkerama—atau sebagian lainnya sibuk dengan ponsel pintar yang membuat mereka bodoh karena lupa berinteraksi atau menyesap kopi di gelas masing-masing. Tapi dari meja panjang tersebut, Kira bisa menatap barista berseragam hitam-hitam yang bergerak lincah di balik meja bar. Kira dapat mengamati kelincahan gerak mereka meracik minuman yang dipesan. Yang lebih penting, Kira akan lebih leluasa mengamati barista pemilik senyum manis yang baru saja selesai dengan istirahatnya.
Sebelum datang tadi, Kira bertanya tentang resep rahasia. Alibi. Sebenarnya hanya ingin mencari alasan agar mendengar suara yang ingin didengarnya lebih lama. Kira pintar, sekaligus bodoh. Bodoh karena tak mampu menyembunyikan senyum malu-malu yang tentu saja membuatnya malu jika ia reka ulang adegan tersebut di otaknya.
Kini, Kira duduk di depan laptopnya, sengaja menghabiskan satu gelas Caramel Frappuccino-nya lambat-lambat karena tak ingin lekas pergi dari tempat tersebut. Barista yang sedari tadi menarik perhatiannya tengah menggunakan waktu istirahatnya di sudut sembari memainkan ponselnya dengan wajah serius. Jangan tanya berapa kali sudah Kira mencuri pandang. Mungkin dirinya sendiri tak akan bisa menghitungnya dengan jari.
Orang yang jatuh cinta, cenderung memproyeksikan apa pun yang ada dalam imajinasinya. Termasuk hal-hal yang tidak termasuk ke dalam kemungkinan yang akan terjadi. Maka, jangan pernah ingin tahu apa yang ada dalam pikiran Kira. Pikiran Kira saat itu bekerja seliar-liarnya. Berharap ada pesan rahasia di gelas yang diberikan barista bersenyum manis tadi, kemudian membayangkan bahwa ia akan menghampiri Kira untuk sekadar menanyakan nama dan apa yang dilakukan Kira selama tiga jam di tempat itu. Kemudian Kira melanjutkan proyeksi imajinasinya, berpikir bahwa mungkin ketika ia hendak keluar dari tempat tersebut, akan ada perkenalan singkat bagi mereka.
Sayangnya, kenyataan tidak pernah seindah imajinasi. Maka setelah kopi di gelas Kira habis dan dirinya memutuskan untuk berjalan keluar dari tempat tersebut, Kira tidak mendapatkan apa pun. Tidak sebuah perkenalan, pun nomor ponsel. Tidak ada pesan khusus pada gelas, ataupun secarik kertas, Kira mendorong pintu kaca dengan berat hati sambil menghela napas panjang. Mungkin lain waktu proyeksi imajinasinya akan menjadi kenyataan.
Setidaknya, hari itu Kira melihat nama di name tag-nya.
Angga.
Kudou
Aaaa, kak mala lgsg biiin cerita ttg barista uwooo~~~
Ini tuh gemesin banget. Kakak pinter banget bkin ceritanya jd seapik inii, brasa baca bab 1 sebuah novel, huhu. Penasaran gmna kelanjutan Kira dan Angga niih, hehehee..
Semangat utk tulisan slanjutnya kaak 😀
fikeey
Mal, i’m personally begging you buat nulis lanjutannyaaa (ditendang keluar blog) iya setuju kaya baca bab 1 gituu pas pada belom kenal. Ciye ciyeee. Mana bawa-bawa baristaaa uwuuu :” suka ih sukaaa. Keep writing maaal hehe.
dhamalashobita
Lanjutan omg lanjutan. Tbh, aku nggak bikin planning buat bikin ini continuous, tapi kupertimbangkan ya.. Tapi ga janji yaaa. Wkwkwk.
Barista memang menggoda (?) lol
Thanks yaa udah mampir, fik 😀