A little dance, a little romance, that’s how she rolls.
*
Katya Vladislava. Nama itu yang sempat kau bisikkan pelan ketika kedua mata sayumu bertumbukan dengan mataku. Hari itu, pesta besar-besaran diadakan oleh salah seorang pejabat kolonial Hindia-Belanda. Kau tidak perlu repot bertanya mengapa kita bisa bertemu di pesta yang sama, karena kemolekanmu diam-diam saja sudah memenuhi isi kepalaku sampai-sampai aku tak punya jeda lagi untuk memikirkan alasannya. Sebut saja karena kawan penulisku, seorang pria Belanda yang lebih banyak merayu daripada menyisir rambutnya sendiri.
Usiaku 20 tahun saat itu, sudah matang betul untuk membedakan mana gadis yang serupa berlian, mana yang hanya batu kali—mulus dan cantik namun tetap saja hanya batu. Kau tentunya masuk ke golongan berlian. Bahkan tanpa riasan berlebihan seperti para pelacur yang berjajar di sudut ruangan menunggu giliran uluran tangan dari pada petinggi kolonial, dirimu sudah mampu bersinar. Jika kau pikir aku sedang meracaukan rayuan, kau salah. Aku sedang menerangkan fakta. Begitu biasanya aku melakukan pekerjaanku. Menerangkan fakta, agar siapa yang nantinya membaca apa yang kutulis tidak tersesat, meskipun masih banyak yang ternyata mengalaminya.
Kawan penulisku itu, Katya, sangat mengagumimu. Binar matanya sepuluh kali lebih terang ketika melihatmu melenggok-lenggokkan tubuhmu di atas pentas. Syal bulu berwarna putih terlilit di lengan dan tersampir di bahumu. Kau penari Rusia yang sengaja didatangkan beberapa waktu lalu ketika kloter 2 dari para penjajah datang ke tanah airku. Tugasmu untuk menghibur pesta-pesta kolonial. Akan tetapi malam itu kau mangkir dari kerjamu. Bukan menghibur, kau malah mencuri perhatianku. Sial.
Kau menggerakkan tanganmu lemah lembut, benar-benar membuatku terpana. Pasalnya, aku belum pernah melihat gadis dengan gerakan gemulai sepertimu. Gadisku di desa semuanya hanya bergerak dengan arit dan alu, membabat dan menumbuk padi hingga tangan mereka kekar berotot. Sungguh jelas berbeda dengan tanganmu yang kecil, berkulit putih mulus. Terlebih kaki jenjangmu yang kaututupi dengan balutan gaun panjang dengan belahan pinggir mencapai pahamu, membuatku ingin rasanya berbaring di sana barang sekejap.
“Yang itu barang mahal, Kawan.” Kawan penulisku merangkul bahuku. Dua pasang mata buaya kami terpaku padamu. Sesaat setelahnya, kau mengedip. Entah pada siapa.
“Jika kubayar dengan cinta, bisa?” Aku bukan Shakespeare. Karena itulah kata-kata manis yang keluar dari mulutku hanya terkonversi menjadi rayuan murahan. Jika kau mendengarnya, Katya, mungkin kau akan muntah di depanku saat itu juga.
“Bisa, jika kau melangkahi mayatku.”
*
“Aku selalu mencintai tulisan-tulisan. Ibuku seorang penyair, oleh karena itu ayahku jatuh cinta. Kurasa kesukaan ayahku menurun kepadaku.” Katya, dalam mobil hitam panjang milik kawan penulisku, jari-jari panjangmu menari-nari di punggung tanganku. Aku tak salah lagi, kulitmu memang seputih salju, dan sehalus sutra. Aku rela menukar malam itu dengan keping-keping koin yang kumiliki di saku celana beleduku. Betapa mahal pun nilai tukarnya.
Tapi sayang, aku bukan penyair, Katya. Jika aku bisa mengganti dokumentasi sejarah rakyatku dengan sajak-sajak cinta, maka aku rela menukarnya saat ini juga. Tapi sayangnya mereka tidak bisa ditukar, Katya. Sementara tulisanku untuk pemerintah Hindia-Belanda tidak ada harganya. Jadi berpuaslah denganku yang mengaku seorang penulis, biar imajinasimu yang bermain menjadikanku penyair. Aku rela.
Kau bercerita tentang keluargamu, tentang ibumu yang bersikeras menamaimu dengan nama Belanda sementara ayahmu yang ingin memberimu nama Katya. Aku akan berterima kasih pada ayahmu karena nama indah itu sekarang bisa kubisikkan berkali-kali ketika aku menyesap harum tubuhmu.
“Kita sudah sampai, Katya. Kediamanku.”
Tidak ada bangunan lain yang membuat perasaan nyaman menyusup di sela-sela dadaku kecuali rumahku sendiri. Ketika kau setuju untuk mampir sebentar di rumahku, aku tersenyum penuh kemenangan. Aku rela menukar malam-malam yang pernah kuhabiskan dengan gadis lain untuk mendapatkan malam bersamamu itu lagi.
Kau turun dari mobil, melempar pandang seakan baru pertama kali melihat gubuk sejenis itu. Kemudian kau gamit lenganku masuk dengan senyum paling hangat yang kau pancarkan malam itu. Di pendopo rumahku, kau berbisik pelan.
“Aku senang mengenalmu malam ini, Tuan. Maafkan aku.”
Bagaimanapun hangatnya, senyum wanita adalah senyum wanita, Katya. Dan karena senyum itu pula aku melupakan sejenak arti sesungguhnya dari senyuman wanita. Semua yang kuingat menguap percuma seperti zat volatil, Katya.
Oh, senyummu hilang, Katya. Berganti acungan senjata api berlaras panjang di depan dahiku.
Kau berlari ke tepian, menggamit lengan lain, memeluk pinggang laki-laki lain—kawan penulisku. Lantai rumahku tertutup kertas yang berserakan. Oh, kertas-kertas itu berharga, Katya. Lebih berharga dari dirimu, yang sayangnya tak bisa kutukar. Kompeni bisa marah. Di kertas itu, Katya, keburukan demi keburukan Hindia-Belanda kupaparkan dan kini habislah masa-masaku.
Katya sialan, mengapa tidak bilang jika pria Belanda yang juga kawan penulisku itu penyair? Jadi aku tidak perlu kehilangan segalanya begini. []
Leave a Reply