“Ini sudah mantan yang keberapa?”
Kina memutar gelas kopinya yang dibiarkan setengah penuh sejak sepuluh menit yang lalu. Lagu exile berputar di kafe yang menurut Kina lampunya terlalu remang. Kafe itu milik teman dari sahabatnya yang akhirnya menjadi teman Kina juga walau hubungan mereka tidak pernah benar-benar dekat. Meskipun bagi Kina, teman dari temannya bisa berarti temannya juga, tetap saja Kina memberi jarak aman bagi dirinya dan orang tersebut.
“Kina?” Temannya bertanya lagi. Dia benar-benar ingin tahu rupanya, setelah sebelumnya Kina menghubungi ponselnya dengan suara datar, mengabarkan kalau dia baru saja mengakhiri hubungan dengan kekasih—sekarang mantannya.
“Harusnya nggak perlu menghubungiku kalau akhirnya nggak mau cerita.” Sola—nama sahabat Kina—protes keras sembari menghabiskan chocolate frappe pesanannya.
Bagi Sola, proses melupakan bukanlah proses seperti menyeduh kopi instan, maka dari itu Sola selalu tidak bisa mengerti apa yang Kina pikirkan. Karena itu juga pertanyaan Sola di awal terngiang kembali di benak Kina. Dia menarik salah satu sudut bibirnya dan menyesap kopi hitam yang sejak tadi hanya dibiarkannya.
“Mantan keberapa, ya?” gumam Kina pelan.
Netranya mengarah pada ujung-ujung kakinya yang tertutup sepatu keds berwarna putih. Apa gunanya menghitung mantan kalau mereka hanya akan ada di angan, pikir Kina. Meski berpikir tidak ada gunanya, Kina tetap menghitung dalam hati.
Tujuh…
Delapan…
“Kayaknya lebih baik kamu belanja sekarang! Beli apa pun yang kamu mau, yang sudah lama ada di wishlist kamu dan belum juga kamu beli.” Sola memotong hitungan Kina. Dia harus menghitungnya dari awal lagi kalau begitu. Padahal, Kina sudah susah payah mengingat nama laki-laki yang pernah dia rapalkan tiap hari itu.
“Budget-ku sudah habis untuk belanja bulan ini,” sahut Kina.
“Kina, ini special case, kamu bisa sisihkan. Ada ampun, deh, buat stress shopping kali ini.”
Kina lagi-lagi tersenyum. Kali ini dia menyunggingkan dua sudut bibirnya sekaligus. Siapa yang bilang Kina merasa stres sampai-sampai butuh pelampiasan ini itu? Tidak ada. Sola menyimpulkannya sendiri. Dia memang suka begitu, menyimpulkan sesuatu seolah Sola sangat pandai membaca apa yang ada dalam kepala Kina padahal semuanya tidak seperti yang Sola pikirkan—terlebih apa yang ada dalam hati Kina.
Padahal, Kina sama sekali tidak terganggu dengan salam perpisahan, kalau sudah waktunya berpisah, mengapa perlu dipertahankan? Bukan perpisahan yang mengganggu pikiran Kina, melainkan kenyataan bahwa lagi-lagi hubungannya berakhir bukan pada komitmen akhir. Namun, bukankah memutuskan berpisah juga sebuah komitmen?
Kina menyandarkan punggungnya ke kursi kayu yang bagian sandarannya lebih tinggi dari kepalanya sehingga dia bisa bersembunyi di balik kursi itu. Ponsel Kina berdering, layarnya menunjukkan nama Arvin. Ini sudah entah panggilan keberapa, Kina berhenti menghitung setelah panggilan ketujuh. Biar saja, Kina sama sekali tidak berencana mengangkatnya.
“Nggak mau kamu jawab?” tanya Sola.
Kina menggeleng.
“Sampai kapan? Kenapa nggak kamu blok saja kontaknya kalau begitu?”
“Buat apa? Kalau dia masih keras kepala, dia akan mencari seribu satu cara untuk tetap menghubungi meskipun aku blok semua jalurnya. Suatu hari kalau kami sama-sama sadar bahwa ini bukan sesuatu yang bisa dijalani, dia akan berhenti sendiri, La.”
Sederhananya, Kina tidak ingin dianggap jahat.
Sejak awal, Kina sudah tahu hubungan mereka tidak akan berjalan sebagaimana yang Arvin harapkan. Harapan Arvin dan Kina benar-benar berbeda. Sekeras apa pun Arvin—dan juga Kina—berusaha menyatukan dua tujuan itu, mereka tidak akan bisa.
“Nggak perlu sedih lagi, Kina. Nanti, aku kenalin sama teman-teman cowokku.”
Teman laki-laki mana lagi, batin Kina. Kina masih malas menambah deretan nama yang akan disebutnya sebagai mantan.
Yang membuat Kina gelisah bukan perkara apakah dia akan mendapatkan teman laki-laki atau kekasih lagi, tapi pemikiran tentang emosi absurd yang selalu diagungkan di mana-mana. Tentang cinta dan pengalamannya selama hidup lebih dari seperempat abad. Kina mendengus.
“Aku nggak ngerti bagaimana caranya kamu bisa move on secepat itu.”
“Ada hal yang nggak akan kamu mengerti meskipun aku jelaskan berkali-kali, La.”
Seperti ketika Kina mengatakan kalau dia mulai tidak percaya cinta kemudian Sola mati-matian meyakinkan Kina tentang betapa menyenangkan dan menenangkannya perasaan itu. Kina bilang cinta itu bullshit, sementara bagi Sola, cinta itu hidup. Mereka berdua sama-sama tidak pernah bisa mengerti konsep milik satu dan lainnya.
Leave a Reply