Don’ let society judge you
*
Maggie merindukan masa kecilnya, di mana menjadi Cinderella bergaun biru mengembang kemudian berjalan-jalan di mal bukan sesuatu yang ganjil. Di mana mendengar musik klasik bukan masalah besar bagi sekitarnya. Di mana ia bisa menggesek biola bersuara sumbang dan menekan tuts piano tanpa melodi berarti tanpa ada yang menghakiminya.
*
Tahun terpenting dalam hidupnya dimulai hari itu juga. Maggie mengenakan rok baseball bermotif tartan. Warnanya hitam, kontras dengan kemeja putih lengan panjang yang dikenakannya. Rambutnya yang kemerahan dipilin dua sisi. Kaus kaki nyaris sebatas lutut dan sepatu putih merek Adidas.
Malam sebelumnya, Maggie sudah berkencan dengan perangkat komputernya, menyusuri halaman utama website fashion ternama sekelas Lookbook. Memilah-milah gaya yang umumnya disukai anak-anak seusianya. Sebenarnya, Maggie tidak perlu serepot itu ketika datang ke kampus pertama kali hari itu. Cukup datang seperti Maggie.
Tetapi Maggie ingin disukai pada hari pertamanya. Maka ia memilih sedikit repot.
Jangan bayangkan Maggie memiliki tubuh ideal seperti keluarga Kardashians. Maggie hanya punya tinggi lebih dari seratus enam puluh. Tubuhnya kurus, kulitnya putih pucat, rambutnya keriting kemerahan dan punya banyak bercak cokelat di bagian pipinya. Dan jangan pernah heran jika para laki-laki menatapnya ketika berjalan, mereka biasanya hanya berpikir tentang masih ada gadis yang bisa tenang berjalan dengan dada yang rata.
Langkah Maggie terhenti pada dinding yang membuat ratusan nama. Matanya menyusuri deretan nama perlahan-lahan sampai ia menemukan namanya. Salah satu di antara ratusan nama tersebut. Setelah itu, ia hanya perlu menemukan kelasnya, mencari bangku dan mencari teman baru. Ini tidak akan sulit, pikirnya.
Tapi kenyataannya, realita kadang memilih untuk menjadi lebih kejam dari apa yang tercipta dalam benak. Seperti gelas minuman yang tersenggol dan jatuh tepat ketika Maggie berbalik. Gelas kertas berisi kopi milik seorang gadis yang dikelompokkan Maggie ke dalam kelompok bernilai sembilan. Nyaris sempurna.
“Kau membuang satu-satunya kopi pagiku, red head!” dampratnya.
“Maaf, maaf. Aku benar-benar tidak sengaja.”
Sengaja atau tidak sengaja, si gadis nyaris sempurna itu tidak akan peduli. Selalu akan seperti itu untuk gadis seperti Maggie. Jika begini, melihat lookbook semalam suntuk pun tidak akan lagi berguna.
*
Maggie adalah seorang outcast. Tak peduli seberapa keras dia berusaha menjadi lebih dari sekadar label tersebut. Sayangnya, masyarakat selalu punya pandangan sendiri. Pandangan yang akhirnya mewabah menjadi sesuatu yang diyakini.
Minggu-minggu setelahnya, loker Maggie sudah dipenuhi surat-surat kaleng. Tempat duduk kesukaannya penuh umpatan kotor yang menjijikkan. Maggie berganti-ganti gaya, berharap satu kelompok menerimanya, tapi lagi-lagi realita berlaku lebih kejam.
“Kau tidak bisa bergabung dengan kami, Maggie. Kau saja pergi ke perpustakaan setiap istirahat. Bagaimana kau ingin mengikuti klub drama? Tempatmu mungkin di klub kutu buku itu,” seru salah seorang anggota klub drama.
“Kau mendengar Frank Sinatra? Lalu apa yang akan terjadi jika kau bergabung bersama kami? Kau ingin membuat 5 Seconds of Summer bernyanyi lagu lemah yang mendayu-dayu itu?” Penggemar fanatik grup band asal Sydney mengatakannya ketika Maggie meminta mereka memasukkannya dalam klub band.
“Maggie, buka matamu. Tubuhmu bahkan lebih mirip sehelai kertas dan kau memaksa ikut klub pemandu sorak? Mungkin kau butuh kaca.” Dan kata-kata itu tentu saja dilontarkan gadis bernilai sembilan yang membuat kemeja putih Maggie berubah menjadi setengah cokelat di hari pertamanya.
Pada akhirnya, Maggie memilih membawa iPod penuh lagu Frank Sinatra, tas kanvas berwarna biru dongker dan setumpuk buku puisi ke sudut kantin. Sudut kantin adalah tempat yang paling dibenci siswa populer, tetapi disukai semua siswa yang disebut pecundang.
Maggie bukan pecundang. Dia hanya merasa nyaman berada jauh dari keramaian. Di mana tidak ada orang yang membicarakan rambut merah dan bercak cokelat di pipinya. Tidak ada yang mencela suara Frank Sinatra yang terdengar keluar dari headset yang menyumpal telinganya karena ia menyetelnya dengan volume maksimal.
Setidaknya Maggie aman sendirian di sudut kantin.
*
Maggie berganti-ganti pakaian. Dari warna pastel hingga monokrom. Lolita hingga emo. Tapi tak satu hari pun ia lewati tanpa penindasan. Jika kalian pikir penindasan hanya tepung bercampur telur yang diletakkan di kepala, kalian salah. Yang lebih menyakitkan adalah penindasan secara verbal. Terlihat samar, kemudian membunuh perlahan-lahan.
Hari itu Maggie muak. Dia tidak mengenakan riasan seperti hari sebelumnya. Tubuhnya hanya berbalut hoodie abu-abu yang sudah kusam, celana jins dan Converse biru. Rambutnya terikat satu ke belakang, sedikit berantakan. Maggie kembali duduk di sudut kantin dengan setumpuk buku teks yang baru saja dipinjamnya di perpustakaan.
“Bosan menjadi orang lain?”
Maggie baru saja membuka halaman pertama buku teks sejarahnya ketika suara seorang laki-laki mengagetkannya. Awalnya, Maggie tidak yakin pertanyaan tersebut ditujukan padanya, sebelum ia sadar bahwa tidak ada siapa pun di sekelilingnya.
Maggie tidak mengenalnya. Laki-laki bersurai pirang, dengan manik abu yang indah. Laki-laki itu menghentikan bacaannya kemudian tersenyum ke arah Maggie. Mata mereka bersirobok. Setelahnya, Maggie lekas memalingkan wajah, merapikan rambut di sisi wajahnya, menyelipkannya di belakang telinga.
“Tidak perlu panik begitu. Kau terlihat lebih normal dengan penampilan itu.”
“Maksudmu?”
“Aku bisa membaca gerak-gerikmu. Kau tidak nyaman dengan rok tartan hitam yang membuat kakimu terlihat mirip enggrang. Kau juga tidak nyaman dengan jaket kulit hitam ketat yang membuat tubuh kurusmu terlihat semakin kurus.”
“Kau tidak tahu apa-apa,” sahut Maggie, mulai kesal pada ucapan laki-laki yang berada di hadapannya.
“Memang tidak. Begitu pun dengan yang lainnya.”
Lalu kau sama saja dengan yang lainnya.
“Apapun yang kau lakukan, lingkunganmu tidak akan bisa diam. Pasti ada yang dianggap salah,” serunya.
Maggie termenung. Laki-laki itu kelas wahid, tapi duduk di tempat para outcast di sudut kantin. Menurut Maggie, laki-laki bernilai sembilan—nyaris sempurna—harusnya duduk di tengah kantin, di kerumunan siswa populer.
“Kau lihat anak-anak pemandu sorak itu? Rata-rata dari mereka menderita anoreksia. Penggemar band pop di sisi sana, mereka broken home. Lalu kutu buku di belakangku, mereka hanya menganggap orang lain sempurna, sedangkan mereka tidak. Sama sepertimu. Sebenarnya kau itu cantik, tapi kau melakukan hal seperti yang lainnya, menganggap orang lain sempurna sementara kau tidak. Dan itu bodoh sekali.”
“Aku tidak bodoh!” protes Maggie.
“Aku tahu, oleh karena itu aku mengajakmu bicara, agar kau tidak menjadi salah satu dari orang-orang bodoh itu. Namaku Clark.” Namanya Clark, dan dia bukan termasuk kelompok outcast. Dia populer. Beberapa gadis menyebut namanya terus-menerus di toilet.
“Apa kau salah satu dari orang-orang bodoh itu juga?”
“Tidak bodoh selama aku menentukan sendiri apa yang akan kulakukan, di mana aku berada, dengan siapa aku akan berteman. Mengapa kau perlu repot-repot membiarkan masyarakat membentukmu padahal kau adalah bagian dari mereka?” tanya Clark.
“Tidak tahu. Aku hanya ingin punya teman. Aku ingin mereka menerimaku.”
“Aku menerimamu sebagai teman mulai saat ini, Maggie. Tidak perlu repot-repot membuat masyarakat membentukmu. Bentuk saja dirimu sendiri. Biar yang lain mengikuti.”
“Tapi aku…”
“Tidak ada tapi-tapian. Ah, bagaimana jika besok kau temani aku mencari buku teks sejarah. Tugas Miss Morrey tadi, aku tidak begitu mengerti sumbernya. Kalau kau menolak ajakanku, aku akan menarikmu setelah kelas selesai. Oh ya, rambut yang kau pilin dua seperti pada hari pertamamu datang itu cocok untukmu. Mungkin kau bisa mencobanya lagi besok. Sampai jumpa, Maggie!”
Maggie bergeming. Clark berjalan meninggalkan meja. Ketika punggungnya sudah tak lagi terlihat, Maggie mencubit pipinya. Mungkin besok dia bisa mencoba menjadi dirinya sendiri. Mungkin dengan begitu semua akan terasa lebih mudah bagi Maggie.
Atau mungkin besok Maggie bisa memulainya dengan memilin dua rambutnya. []
Leave a Reply