“Nothing”
¶ Dhamala Shobita Storyline © 2014
*
“Cinta pertamaku sesejuk angin musim semi. Aromanya tercium seperti kayu mapel yang terkena air bekas lelehan salju. Senyumannya merekah seperti bougenville merah jambu yang baru saja bermekaran di hari ketiga musim semi.” – Celesta
*
Ini pasti mimpi.
Karena, ketika aku membuka mata, aku berada di anak tangga paling bawah yang menghubungkan lantai dua dan tiga flatku di Milano. Udaranya sedikit lebih hangat, pun menyejukkan. Ada sosok Nuelle di sampingku, kemeja putih berlengan panjang dan celana jins biru kusam membalut tubuhnya. Ia merelakan pundaknya menjadi sandaran kepalaku. Jemarinya terselip di sela-sela rambutku, membelai kepalaku, mentransfer rasa nyaman dalam pikiranku.
Nuelle mengulas senyum dan menyapa tanpa suara, membuatku yakin benar jika itu hanya mimpi. Yang kulakukan selanjutnya adalah menarik kepalaku dari pundaknya, menatapnya lurus. Lekat-lekat. Dan Nuelle tidak mengelak.
Laki-laki itu mendekatkan tubuhnya, membuat jarak di antara kami menjadi tidak berarti. Ia bergerak maju perlahan, membuat bibirnya dan bibirku benar-benar rapat hingga nyaris bersentuhan. Aku masih menatap manik birunya yang tengah balik menatapku lekat-lekat.
Kemudian ia memutuskan jarak yang ada.
Ciuman pertamanya terkesan ringan, tidak menuntut. Bahkan membuatku merasa ada kehangatan yang disalurkannya lewat jarak yang tak lagi ada itu. Bibir Nuelle benar-benar candu, membuatku mabuk bahkan di hitungan pertama. Kupejamkan mataku, menikmati aroma kayu-kayuan yang membasuh tubuh Nuelle.
Sial! Mimpi ini benar-benar indah hingga rasanya aku tidak ingin bangun dengan segera. Tetapi dalam hitungan detik Nuelle memutuskan ciuman itu. Menatapku dan menarikku ke dalam pelukannya. Ada sayatan yang terasa di hatiku ketika aku menyadari sudah waktunya aku bangun.
“Maaf.” Begitu bisik Nuelle tepat di telingaku, seraya membelai mesra rambut ikalku yang kecokelatan.
Apakah aku hanya bisa memiliki Nuelle dalam mimpiku?
**
“Tumpangan dan sarapan pagi?”
Aku terkesiap. “Astaga! Bisakah kau tidak muncul tiba-tiba seperti itu, Nuelle?”
Ia memutar bola matanya kemudian melirik ke arah mobil yang terparkir di depan bangunan flatku. “Cuaca pagi ini terlalu indah untuk dilewatkan, Celle. Lihat, ranting-ranting yang gundul tak berdaun itu mulai punya kuncup kehijauan. Apa kau tidak ingin menikmatinya?” rayu Nuelle.
“Musim semi tidak hanya terjadi kali ini, Nuelle,” sahutku.
Benar. Musim semi tidak hanya terjadi hari ini. Bahkan aku pernah merasakan musim semi tanpa Nuelle jadi menurutku untuk apa menikmati musim semi. Bukankah pada akhirnya mereka akan tetap terasa sama?
“Sebenarnya apa yang salah denganku, Celle? Kulihat kau menghindariku sejak pertama kali kita bertemu. Apa ada masalah? Kau juga dulu menghilang begitu saja tanpa memberitahuku. Apa yang sebenarnya terjadi?” Nuelle menahan tubuhnya dengan tangan yang memegang pegangan anak tangga flatku. Ia menggesek-gesekkan sepatunya ke aspal, membuat bunyi-bunyian yang terdengar bising, bercampur dengan kecipak pelan air hasil lelehan salju-salju terakhir musim dingin.
Pertanyaan Nuelle adalah senjata pamungkas baginya. Antara menjawab pertanyaannya dan mengiyakan ajakannya, aku lebih memilih mengiyakan ajakannya. Itu akan lebih mudah untukku, tak perlu menjawab pertanyaan yang tidak ingin kujawab. Maka dengan sekali helaan napas, aku menatap laki-laki tampan itu lekat-lekat. “Baiklah Emmanuelle, perutku berbunyi nyaring sekali. Kurasa sudah saatnya aku mengisinya.”
“Baiklah, Princess. Katakan di mana kau ingin mengisi perutmu yang kosong itu. Mari kita berangkat ke sana.” Tangan kanan Nuelle sudah terulur ke arahku, menanti untuk disambut. Kemudian aku tanpa berpikir dua kali menyerahkan tanganku cuma-cuma, membiarkan laki-laki berambut hitam pekat itu menggenggamnya erat.
Wanita selalu tahu kelemahannya tapi tidak pernah belajar untuk menghindari kelemahannya itu. Aku setuju dengan itu. Nuelle sudah berkali-kali melakukannya padaku, berkata manis, menyanjungku dalam-dalam, dan berkali-kali juga aku terjerat pada kata-kata manisnya itu. Mungkin aku tidak lebih pintar dari keledai.
“Tahun lalu aku melakukannya dengan Annalise. Jalan-jalan yang sedikit basah, salju yang sedikit tersisa dan melengkapi pemandangan jalan, kuncup-kuncup dedaunan yang mulai menempati posisinya. Kesukaan Annalise.”
Keheningan di antara Nuelle dan aku pecah seketika. Ketika aku memandang ke luar jendela, memerhatikan warna alam yang mulai menghijau serta berkas matahari yang mulai menembus kaca jendela. Aku tercengung ketika nama Annalise kembali terdengar dari mulutnya, membuatku yakin pembicaraan tiga malam yang lalu belum benar-benar tuntas.
“Annalise cinta pertamamu,” ucapku pelan. Dalam.
“Hanya cinta pertama yang sulit kau lupakan, bahkan ketika ada orang lain yang bisa menemani hari-harimu.” Ucapan Nuelle terdengar depresi namun realistis. Ia memang menyebutkan banyak nama setelah Annalise pada ceritanya tiga malam lalu. Dan aku hampir tidak mampu mengingat semua nama itu. Bukan, bukan karena ingatanku payah tapi karena terlalu banyak nama yang ia sebutkan di depanku.
“Aku tahu. Aku pernah mengalaminya,” sahutku pelan.
“Ceritakan padaku tentang cinta pertamamu, Celle.”
Jackpot! Aku tidak pernah bermaksud membahas cinta pertamaku dengan Nuelle. Tentu saja, bagaimana tidak. Cinta pertamaku adalah dia. Dan tidak mungkin aku membicarakannya terang-terangan seperti itu.
“Celle…”
“Cinta pertamaku sesejuk angin musim semi. Aromanya tercium seperti kayu mapel yang terkena air bekas lelehan salju. Senyumannya merekah seperti bougenville merah jambu yang baru saja bermekaran di hari ketiga musim semi. Jika bersamanya, hidupku dipenuhi warna hijau, merah jambu, kuning, dan warna-warna musim semi lainnya.” Aku memotong ucapan Nuelle tanpa sadar. Mataku tetap memandang ke luar. Warna musim semi yang kutangkap dengan retinaku membuatku merangkai kalimat-kalimat tentang cinta pertamaku, tentang Nuelle.
“Ia beruntung menjadi cinta pertamamu, Celle,” sahut Nuelle.
Ya, kau sangat beruntung, Nuelle.
**
Casa di Giuletta memiliki dinding batu yang tertutup ratusan bahkan ribuan kertas-kertas surat. Ada yang lembarannya masih rapi dengan tulisan yang jelas terbaca, ada juga yang bentuknya sudah tidak keruan, tulisannya memudar karena tetesan air mata, dan lain-lain. Di halamannya itu, ada beberapa bangku panjang dari batu yang dipenuhi wanita-wanita dari seluruh penjuru dunia. Sebagian besar dari mereka menulis sambil menangis. Beberapa lainnya hanya datang untuk memegang dada kanan dari patung Juliet di sana, berharap dengan memegangnya maka jodohnya akan segera datang. Begitu mitos yang ada.
Hari ini akhirnya aku tidak masuk kerja. Meminta izin cuti satu hari tidak akan membuat Madam Emmet memecatku. Sudah terlalu siang setelah Nuelle selesai mengajakku makan, yang kuartikan sebagai brunch. Itu terlalu siang untuk dikatakan breakfast.
Nuelle memang tipikal laki-laki Italia yang banyak mengumbar kata cinta pada wanita tapi ketika berhadapan denganku, semua kata cintanya seolah berubah menjadi ucapan yang realistis. Apakah itu yang wanita-wanita lainnya rasakan ketika berada di dekat Nuelle? Apakah aku sama seperti wanita-wanita lainnya? Apakah aku berbeda di mata Nuelle? Ada begitu banyak pertanyaan yang terngiang di benakku, membuatku tak henti-hentinya memikirkan Nuelle.
Pada film Letters to Juliet, tokoh Sophie menemukan surat yang berusia hampir 50 tahun di balik bebatuan yang tertutup surat tapi kali ini aku tidak berniat ingin menemukan satu. Aku berdiri di depan ribuan surat-surat tersebut untuk sekadar membaca. Mencari satu kebahagiaan dalam cinta yang mungkin dituliskan oleh satu di antara ribuan wanita yang datang ke sini. Tapi hasilnya tidak ada. Semua adalah kisah patah hati. Bagaimana sakitnya ditinggalkan, bagaimana pedihnya dikhianati, dan bagaimana sulitnya melupakan.
Mencari kebahagiaan dalam cinta kataku? Ironis.
Aku sekarang malah terjebak menjadi salah satu di antara puluhan wanita yang memenuhi rumah Juliet Capulet itu. Menggenggam secarik kertas dan pena untuk menulis. Kemudian aku mengawali kalimatku dengan dua kata, ‘Dear Juliet’. Dua kata itu membuatku tak dapat berhenti bercerita. Tentang Emmanuelle. Tentang cinta pertamaku. Tentang bagaimana aku tidak bisa menggapai cinta pertamaku, bahkan tidak pernah bisa menyampaikannya.
Butiran bening meluncur indah dari sudut mataku, membasahi kertas surat di pangkuanku. Untungnya tidak sampai membasahi dan membuyarkan apa yang sudah kutulis. Di akhir surat aku bertanya pada Juliet. Apa yang harus kulakukan? Melupakannya atau memberitahunya bahwa aku selalu mencintainya.
**
“Lily of the valley?”
Aku mengerutkan dahiku menatap buket bunga yang diletakkan Madam Emmet di atas etalase. Kualihkan pandanganku berpindah-pindah antara buket bunga lily di depanku dan Madam Emmet yang berdiri di depanku, dibatasi etalase kaca. Aku baru saja mengulang nama bunga yang ada di depanku.
“Ya. Lily of the valley untukmu,” sahut Madam Emmet.
Enam bulan aku bekerja di sini, baru kali ini ada yang mengirimiku buket bunga seperti itu. Bunga indah itu konon adalah lambang cinta yang tulus. Menurut legenda, air mata Bunda Maria yang jatuh ke salib Yesus akan berubah menjadi bunga ini.
Ada kartu ucapan di dalam buket itu. Berisi pesan ‘aku akan menjemputmu pulang kerja hari ini. Ada yang ingin kukatakan’.
“Celesta, aku tidak akan membiarkanmu cuti lagi jika kau hanya ingin datang ke Casa di Giuletta untuk menulis surat pada Juliet.” Madam Emmet berseru tiba-tiba, membuatku sontak menoleh dan menatapnya dalam untuk beberapa waktu.
Bodoh!
Sudah enam bulan aku mengetahuinya tapi baru sekarang aku sadar. Madam Emmet adalah salah satu sekretaris Juliet untuk Casa di Giuletta. Pasti ia membaca tulisanku. Aku mengernyit kemudian menunduk malu. Terkutuklah surat yang kutulis tentang Nuelle kemarin. Kali ini kurasakan wajahku memanas karena tertangkap basah. Ah, benar-benar memalukan.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanyaku.
“Aku hapal tulisan tangan karyawan-karyawanku. Dan…entahlah. Firasat mungkin.” Madam Emmet mengangkat kedua bahunya.
“Jadi…apa kau membalas suratku?”
Wanita tua di depanku menghela napas panjang kemudian menatapku. “Cinta pertamamu memang seindah musim semi, semenyejukkan anginnya, seharum aromanya dan senyumannya seindah mekarnya bougenville. Tapi bukankah musim akan selalu berganti, Celle? Kau tidak akan pernah berada di satu musim dalam waktu yang sangat lama.”
Ah, hatiku benar-benar tersayat kali ini. Sebagian hatiku menyetujui kalimat Madam Emmet, aku tidak akan berada di satu musim dalam waktu yang sangat lama. Musim semi pun akhirnya akan habis tapi aku tahu musim semi baru saja datang kali ini. Bukankah bunga-bunga memang baru saja tumbuh maka ia dapat memberikanku buket bunga itu. Maka menurut bagian hatiku yang lain, musim semi baru saja tiba dan semua tergantung bagaimana caraku menikmatinya.
**
Nuelle memang berada di depan Toko Roti Emmet, membawa sebuket bunga lainnya. Kali ini baby’s breath. Membuatku berpikir dua kali lebih keras, ada apakah gerangan yang membuatna membawakanku bunga-bunga cinta ini. Tidak ingin berpikir lebih tapi laki-laki itu membuatku melakukannya. Emmanuelle, dua buket bunga, kecupan manis dengan semilir angin musim semi. Bisakah hidupku sesempurna itu?
“Untukku?”
Kali ini aku menyambutnya dengan senyuman. Ah, sudahlah. Hatiku sudah melengah karenanya. Ia membuat jantungku berdegup, degupan yang lama tak pernah kurasakan. Ia mengangguk dan tersenyum kecil. “Beberapa bunga mekar di dekat flatku, membuatku teringat pada cinta pertamamu yang kau ibaratkan musim semi. Jadi aku memberikan beberapa padamu.”
“Jadi untuk apa menjemputku?” tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan, sekaligus menyembunyikan kecanggunganku.
“Bukankah pernah kukatakan aku merindukanmu?” sahut Nuelle lembut seraya mendekat ke arahku.
“Lalu mengapa jika kau merindukanku?” selidikku. Nuelle semakin mencurigakan. Ia semakin memperkecil jarak antara tubuhku dan tubuhnya, membuat napasku sedikit tercekat. Apakah kali ini mimpi? Kerap kali aku bertanya dalam hatiku. Tapi ini bukan mimpi. Aku dapat mendengar semua suara di sekelilingku, bahkan aku mendengar suara Nuelle yang berkata tentang rindu sambil tersipu malu.
Seperti mimpi malam itu, di bawah kanopi merah putih Toko Roti Emmet, Nuelle memutuskan jarak di antara kami, mengecupku perlahan dan lembut. Aku benar-benar menutup mataku, merasakan kecupan hangat dari laki-laki di depanku. Ia memelukku erat, seolah tidak ingin melepas kecupannya. Persis seperti apa yang kurasakan dalam mimpiku, manis. Semua yang kurasakan hanya manis. Dan detik berikutnya Nuelle menjauhkan dirinya.
“Tolong tunggu aku sampai aku kembali, Celle. Aku akan pergi ke Milan untuk beberapa hari. Kau boleh pegang janjiku, aku akan datang lagi untuk menemuimu.”
Kali ini aku berharap semua ini hanya mimpi. Buket bunga, ciuman, dan kabar dari Nuelle barusan. Tapi ini adalah realitanya. Nuelle di depanku, berpamitan sekaligus memintaku memegang janjinya, janji yang tak pernah kutahu akan ditepati atau tidak. Janji yang memaksaku percaya pada kata-katanya. Janji yang sadar tak sadar memang akan kupercaya.
“Mencari Annalise?” terkaku.
Ia menggeleng pelan kemudian meletakkan tangannya di kedua pundakku. “Tunggulah aku. Entah apa yang kukatakan padamu tapi aku berpikir untuk memintamu kali ini. Aku tidak ingin kehilanganmu sekali lagi tentu saja. Jadi kuharap kau…”
“Bisa menunggu.” Aku memotong cepat ucapannya. Jantungku berdetak tak karuan, sementara seluruh tubuhku kurasakan seolah menghangat. Aku bisa menunggunya tapi ragu terselip di dadaku, membuatku berpikir mungkin saja aku tidak harus menunggunya.
“Kau yang terbaik, Celle,” serunya.
Tapi aku bukan satu-satunya. Sedangkan kau selalu menjadi yang terbaik sekaligus satu-satunya di hidupku. Sungguh tidak adil, bukan?
“Celle, bagiku ada dua hal yang mengingatkanku pada musim semi.” Ia menatap mataku lembut dan mengulas senyuman tipis.
Apa itu? Aku bertanya dalam hati.
Nuelle meraih tanganku, menggenggamnya erat. Di bawah kanopi merah putih, di pinggir jalan raya yang ramai dengan lalu lalang penduduk Verona, di tengah senja yang sebentar lagi akan bertukar tempat dengan malam.
“Kenanganku dengan Annalise dan ciuman pertamaku denganmu.”
Aku mencoba tersenyum dalam sesakku. Bisakah kau menghapus kalimat pertamamu, Nuelle? Sisakan ciuman pertama kita dalam kalimatmu. Mungkin aku akan menimbang-nimbang untuk menunggumu jika kau melakukannya.
“Jadi, Celle, kau bersedia menungguku, bukan?”
– to be continue –
image credit : althea@tumblr
margaretamentari
woo.. kapan yang selanjutnya nih?? huwa, seandainya aja cinta pertama bisa beneran kesampaian.. baguss, aku suka settingnya. manis dan bikin jadi terbawa perasaan.. aku lebih suka lagi kalo ditambah dialog.. hehe.. tapi aku tetep suka kook,, lanjutkan!! 😀
jamonghyun
Cinta pertamaku sesejuk angin musim semi. Aromanya tercium seperti kayu mapel yang terkena air bekas lelehan salju. Senyumannya merekah seperti bougenvillemerah jambu yang baru saja bermekaran di hari ketiga musim semi. Jika bersamanya, hidupku dipenuhi warna hijau, merah jambu, kuning, dan warna-warna musim semi lainnya.” 《 ini kata”nya aku suka bangeett malaaa haha
Aku suka dan sangat sangat menikmati setiap cerita didalamnya . Duh .. mau lagiii .. aku mau tau klanjutan cinta celle atau siapa sih . Aku terlalu pikun bt inget nama cast di atas . Jaebal banget doh wkwk .
Yang penting aku sukaaa haha . Novelnyaa laahh hahay
dhamalashobita
Makasih yaa Kakak 😀
Hehehe
Itu salah satu kalimat kesukaanku juga loh.. Lanjutannya kayaknya telat.. Huaaaaa~ ><
neys
Aduh ini bagus banget, Mala! Aku sukaaa! Suka banget malah!
Keren deh pokoknya, ditunggu kelanjutannya ya~ ^^