a chain of words by kkeutkaji, fikeey, aminocte, Io, Lt. VON, and me.
.
Para ilmuwan terlalu sibuk berkompetisi menciptakan inovasi baru; robot mana yang paling canggih, penemuan mana yang paling mutakhir, gawai apa yang paling pintar. Padahal yang dibutuhkan dunia—sebenarnya—bukanlah mesin atau papan sirkuit.
Tapi uang.
Aku ingin sekali mengenyahkan kenangan sedih dari dalam tempurung otakku. Sumpah, ya, andai aku punya pohon uang di halaman belakang rumahku, sudah kupanen daunnya dan mendaftar operasi. Kemasyhuran teknik Dr. Lo yang mampu melenyapkan kenangan sedih dan menggantinya dengan implan kenangan bahagia sudah tersohor ke mana-mana, mengantre sekarang pun baru masuk meja operasi tahun depan. Ck, giliranku kapan?
Omong-omong, banyak juga, ya, ternyata yang ingin memodifikasi ingatan mereka? Kupikir cuma aku yang tertarik. Wajar, sih, daripada kepikiran bunuh diri lebih baik menghamburkan uang untuk membayar Dr. Lo. Maksudku, kapan lagi, ‘kan, ada seorang dokter yang menawarkan jasa semenggiurkan ini? Dr. Lo sudah selayaknya diberi nobel perdamaian atas inovasinya. Mengumpulkan memori-memori bahagia untuk diimplan ke ingatan orang-orang jelas bukan pekerjaan yang mudah. Dari mana, ya, ia mendapatkan itu semua?
Namun kemudian aku melihat sosok Dr. Lo suatu sore di sebuah kedai teh. Beliau ada di sana dengan pakaian santai, memesan seporsi sederhana teh earl grey dan kudapannya, dengan lembaran koran yang terpampang di depan hidungnya. Kacamatanya hampir melorot dan kalau aku tidak berdeham di dekatnya supaya ia mengangkat wajah, aku yakin benda malang itu sudah mendarat di tanah. Ia tersenyum ramah padaku dan dengan gestur ringan mengundangku untuk duduk dengannya.
“Menghabiskan sore?” tanyaku canggung. Aku hanya sekali, dua kali bercengkerama dengannya—itu pun karena beberapa acara yang digelar tetangga lama kami, sebelum aku pindah—tapi caranya memperlakukanku seolah hubungan kami dekat … ah, ternyata ia seseorang yang lumayan hangat.
Ia mengangguk. “Kau terlihat seperti tengah banyak pikiran,” responsnya. “Hari yang buruk? Atau banyak yang sedang kau pikirkan?”
Aku tersenyum kecut dan dalam kurun waktu yang tak begitu lama, semua yang ada di kepalaku tercecer di hadapannya begitu saja; tentang angan-angan gilaku, tentang kebosananku, segalanya. Dan Dr. Lo memperhatikan seluruh ceritaku seolah hal ini adalah sesuatu yang sangat menarik.
“Mengesankan sekali,” ujar Dr. Lo simpatik. Ia menyesap minumannya dengan tenang dan elegan. “Tidak kusangka anak muda sepertimu memiliki angan-angan sedemikian tinggi. Kau ingin menciptakan dunia yang lebih baik untuk semua orang, benar begitu?”
Aku mengangguk. Sedikit terlampau antusias, kurasa. Biasanya angan-angan terpendamku itu hanya mampu bertahan di ruang sempit antara diriku dan tembok kamarku. Namun, hari ini aku membuat sebuah kemajuan besar dengan menceritakan semuanya kepada Dr. Lo.
“Termasuk kebahagiaan untuk dirimu sendiri?”
Seingatku, aku bahkan belum menceritakan bagian itu. Sedari tadi aku hanya berbasa-basi, mengulur waktu, melempar preambule agar tak disangka lancang apalagi aneh. Kuutarakan semuanya, seakan-akan perhatianku hanya tertuju pada dunia, bukan pada diriku sendiri. Kebahagiaan untuk diriku sendiri adalah bagian yang kusimpan untuk diceritakan sebentar lagi.
“Dan kau juga merasa bosan dengan dunia ini, bukan? Atau lebih tepatnya bosan dengan kehidupanmu?”
Kugigit bibirku tanpa sadar. Dr. Lo, lelaki hebat yang ingin sekali kudekati dengan cara apa pun agar aku bisa merasakan tangan dinginnya itu ternyata mampu membaca isi pikiranku.
“Ya, kurasa begitu, Dr. Lo.”
“Jadi, apa yang bisa kulakukan untukmu?”
Apa yang bisa dilakukannya untukku? Sebenarnya, aku sama seperti puluhan atau bahkan ratusan manusia lainnya yang membutuhkan implan ini. Jika benar si dokter hebat ini bisa membaca pikiranku, maka kuyakini ia akan tertawa tepat saat itu juga.
Dan Dr. Lo benar-benar terkekeh.
“Setiap orang perlu menghilangkan kenangan sedih untuk dapat menciptakan dunia yang lebih baik. Wajar kau menginginkannya juga.”
Masalahnya adalah, aku nyaris tidak punya lembaran uang tersisa di rumah. Jadi bagaimana aku bisa menguliti kenangan buruk dari otakku dan menukarnya dengan kenangan bahagia? Tidak mungkin aku rela menjadi pengemis setelah implan kenangan bahagiaku berhasil. Jika benar itu yang harus kulakukan, aku akan memilih hidupku yang sekarang. Tanpa perlu menambah kesedihanku.
“Sebenarnya ada cara yang lebih mudah, anak muda.” Dr. Lo melipat kakinya, menatapku lekat-lekat dengan tatapan menusuk, membuat otakku berputar memaknai tatapannya. “Beri tahu aku siapa yang siap kau korbankan. Satu kenangan sedihmu, dua kenangan bahagia orang itu. Tidak masalah, bukan?”
Aku terhenyak.
Apa … yang dibicarakan Dr. Lo?
Aku membuka mulut, kemudian menutupnya lagi—menirukan ikan koi dengan bodoh. Kudengar suara detakan jantung yang berdentum ramai di dada. Hanya perasaanku saja, atau memang pandangan Dr. Lo semakin menajam? Seolah dirinya tahu rahasia yang selama ini kupendam rapat akan mereka. Rahasia yang berhasil kusembunyikan selama beberapa bulan terakhir.
Aku menelan ludah. Bulir keringat dingin mulai menghiasi pelipisku.
“… dua orang itu?” bisikku, parau—mati-matian menyembunyikan kepanikan yang nyaris membuatku gagal untuk berpikir jernih.
Ada kilat aneh yang melintas di dwimanik tajam Dr. Lo. Terlalu cepat untuk kubaca dan kupahami artinya. Aku melihat bibir tipis Dr. Lo meliuk membentuk senyum lembut yang entah kenapa justru membuat bulu kudukku berdiri.
“Ya,” kata Dr. Lo, masih tersenyum. Ia pun mengaitkan jemarinya. “Tentunya kau tahu siapa yang kumaksud, benar?”
Ingin aku mengangguk, namun leherku menolak tunduk. Entah karena lengkung senyuman Dr. Lo yang terlampau ambigu, pancaran ketertarikan ganjil dari kedua maniknya, atau bahkan keduanya.
Gemuruh antusiasme yang berdentam hebat perlahan menjadi lebih samar, sebelum luruh sepenuhnya bersama hening. Meninggalkan rongga dadaku kosong, lantas mengundang sensasi yang tidak lebih baik dari rasa canggung di awal konversasi.
Sebenarnya aku bisa saja langsung menyatakan kesanggupan. Ini momen yang sudah kunantikan sejak lama dan akhirnya ditawarkan cuma-cuma oleh Dr. Lo sendiri. Yang perlu kulakukan hanya menyerahkan mereka, lalu segalanya akan lebih baik. Lagi pula, siapa aku berani meragukan kapabilitas Dr. Lo yang sudah termasyhur?
Tapi demi pohon uang yang kerap kumimpikan tiap malam, aku tidak dapat menyingkirkan keraguan di sudut akal sehatku begitu saja. Jika ia dapat membaca pikiranku, bukankah tidak mungkin jika sedari awal ia memang berniat menemuiku dan sebenarnya—
“Kau tahu aku tidak punya banyak waktu, bukan?”
Tersadar, aku segera mengalihkan padangan dari tepi meja kembali pada wajah Dr. Lo. Mencari lekuk senyum dan kilatan ganjil yang semula memancing keraguanku, namun nihil. Apakah semua itu semata ilusi?
Entahlah.
Yang kutahu, detik berikutnya kami telah berjalan bersisian keluar dari kedai teh.
Dr. Lo sibuk memutar otak untuk menyelipkan jadwal operasiku di antara antrean yang mengular, sementara aku mulai berfantasi mewujudkan kehidupan dunia yang lebih baik untuk semua orang dengan implan memori bahagia dari sepasang pengantin baru di sebelah rumahku.
Sepasang sejoli kawin lari yang tidak lain adalah putri bungsu Dr. Lo dengan kekasihnya. Singkat kata aku berjanji merahasiakan keberadaan mereka dari dunia luar, termasuk Dr. Lo, tanpa syarat—semata karena dorongan belas kasih.
Tapi, daripada hidup sebagai buronan, bukankah lebih baik mereka segera beristirahat dengan tenang di atas meja operasi, dan berbagi kenangan bahagia denganku yang miskin ini?
fin.
-
- Thanks to kkeutkaji yang menggagas kolaborasi ini. And to you guys, kakpang, ami, titan, fikaaa. Hugs you all.
-
- This is really out of my playroom. Well, aku belajar banyak dari kalian guys! 🙂
- Selamat bertemu di kolaborasi selanjutnya!
Leave a Reply