…pada dimensi paralel itu, mungkin kita bisa bersama.
*
Ada satu orang yang selalu saja menjadi kesayanganku, seseorang yang namanya akan selalu melekat di otakku sampai kapan pun. Namanya Gian, laki-laki pintar yang membuatku selalu saja melakukan berbagai macam cara untuk menarik perhatiannya. Paper cranes, cokelat-cokelat bentuk hati dan puluhan surat cinta tak segan kukirimkan.
Hingga akhirnya aku menyerah. Menyerah seutuhnya.
Aku tengah duduk di sebuah kafetaria ketika mataku menangkap sepasang anak SMA berjalan seraya bergandengan tangan, membuatku teringat pada sosok Gian dan aku. Bukan, Gian bukan tipe laki-laki keren seperti yang ada di film-film remaja. Gian hanya seorang kutu buku yang terkadang terkesan kekanakan, pintar dan sedikit aneh. Jika ada yang menanyakan alasanku menyukainya, maka aku akan dengan lantang menjawab ‘tidak tahu’.
Aku tidak pernah mengatakannya, tapi aku pernah melakukan banyak hal untuknya. Hal-hal yang ku yakini dapat membuat Gian mengerti apa yang kurasakan. Namun harapanku hanyalah sebatas harapan, aku tidak akan pernah memaksa lebih padanya meski kedekatan kami nyata.
Ponselku berdering cukup keras, membuatku tersentak sesaat dari lamunanku. Sosok Gian memudar ketika aku mendapati deretan angka tak ku kenal di ponselku. “Halo,” ku jawab ponselku hati-hati.
“Bagaimana kabarmu?” Ini pasti halusinasi! Apakah memikirkan Gian sedikit saja dapat memberikan efek separah ini pada pikiranku?
“Apa benar ini Michelle?” tanyanya setelah jeda beberapa saat yang ku ciptakan.
“Iya, benar. Ini aku. Apa ini…”
“Gian.” Ia memotong ucapanku, membuat jantungku mencelos seketika. Suara yang terdengar di telingaku memang suaranya. Itu Gian dan aku tidak sedang berhalusinasi. “Bagaimana kabarmu?”
Aku berharap kau mengatakan bahwa kau merindukanku. “Aku baik. Bagaimana denganmu?”
“Mungkin tidak akan sama baiknya denganmu. Aku merindukanmu. Sebenarnya itu yang ingin kukatakan sejak mendengar suaramu tadi,” jawab Gian diikuti tawa kecil dariku.
“Sama, aku juga merindukanmu.” Malah mungkin lebih banyak dari rindumu.
“Ada sepasang anak SMA di depanku, mereka berjalan tanpa bergandengan. Yang perempuan berkali-kali mencuri pandang ke arah si laki-laki, sementara si laki-laki tetap berjalan dengan santainya. Itu membuatku teringat denganmu. Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” ujarnya pelan. Aku terdiam, menunggu ia melanjutkan sendiri kata-katanya.
“Dulu, jika saja kau menunggu sedikit lebih lama, jika saja kau memberiku kesempatan untuk berjalan ke arahmu, cerita kita pasti akan berbeda. Kau bergerak terlalu cepat, Michelle, hingga aku tidak mampu lagi mengejarmu.” Gian menghela napasnya, membuatku menghela napas juga.
“Kalau begitu, semua ini salahku. Maaf, aku bergerak terlalu cepat,” sahutku.
“Aku menyukaimu. Aku pernah menyukaimu dan akan selalu menyukaimu, Chelle. Kau tahu dimensi paralel? Di dimensi itu, aku dan kau pasti bersama sekarang. Terima kasih sudah pernah menyukaiku. Kau adalah hal terindah di mataku.”
Aku tersenyum, memandang sepasang anak SMA di luar jendela kafetaria dan membalas kalimat Gian, “terima kasih telah membiarkanku menyukaimu. Aku..aku sungguh iri pada kita di dimensi paralel itu. Kau, hiduplah dengan baik di sana.”
*fin*
A/N : Inspired by Taiwanese Film, You’re The Apple of My Eye by Giddens Ko for #FiksiFilmku @KampusFiksi ^^
rinnaaay
whoaaaaa aku beloman nonton film nya ya kayanya /lahlahlah/
jadi ternyata gian itu metong? eh? apa gimana? ._. ahahaha abisnyaaa kata2 ‘semoga kamu bahagia disana’ itu semacam utk org yg udah gak ada /digeplak/ hahahaha
ah aku pengen bikin cerita dg nama barat2an gini wkwkwkwk
oh oh aku juga bikin loh buat fiksifilmku meski telat hahahaha
margaretamentari
aku seperti mengenal gian dikehidupan nyata.. *keinget titan* 😀
dhamalashobita
ehmmm hahahaha
hebat ya Gian, menginspirasi bingiiiit :p
makasih uda mampir yaa de..