Judul buku: Polaris Musim Dingin
Penulis: Alicia Lidwina
Editor: Tri Saputra Sakti
Ilustrator: Zuchal Rosyidin
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020635248
Cetakan pertama, 2020
416 halaman
Baca di Gramedia Digital
*
Blurb
Seseorang mengirimkan tiket-tiket Shinkansen kepada Higashino Akari tanpa keterangan alamat pengirim. Akari hanya menerima berlembar-lembar tiket yang dipesan atas nama dirinya, juga surat-surat dari Sensei.
Sensei; orang yang pernah menyelamatkannya dari masa-masa keterpurukan. Sosok yang mengajari Akari untuk tidak menyerah dalam hidup, yang menghilang dari kehidupan Akari lima tahun lalu.
Merasa terusik, Akari pun memutuskan untuk menempuh perjalanan menggunakan tiket-tiket kereta itu. Perjalanan yang membuatnya bertemu kembali dengan Ryuji dan Misaki—dua sahabatnya. Juga Kyouhei… seseorang dari masa lalu Akari yang tidak pernah hilang dari benaknya.
Di antara kenangan, perjuangan mereka, dan janji-janji yang teringkari, Akari bertekad menyelesaikan perjalanan itu untuk menjawab berbagai pertanyaan dalam hatinya. Mengapa Sensei meninggalkan mereka? Dan mengapa surat-surat dari beliau baru sampai sekarang?
*
“Hiduplah untuk satu hari lagi. Berjuanglah untuk satu hari lagi. Tidak perlu satu tahun. Tidak perlu satu bulan. Fokuslah untuk berjuang satu hari lagi. Kemudian satu hari lagi. Dan seterusnya. Kau akan sadar kalau hidup ternyata tidak seburuk yang kaukira.” – hlm. 86
Kapan terakhir kali kalian baca buku fiksi dan benar-benar tersentuh karena cerita di dalamnya? Aku kayaknya sudah lama banget nggak mengalami itu. Karena rutinitas kerja yang monoton dan kadang bikin overwhelmed, kadang aku lebih memilih baca buku yang ringan, yang cenderung bisa refresh pikiran.
Butuh waktu agak lama membaca novel yang membuatku tertarik karena desain sampulnya. Ya, pertama aku tertarik sama desain sampulnya sebelum akhirnya melihat blurb. Wajar lah ya, kurasa banyak orang melakukan ini juga waktu memilih buku mana yang mau dibacanya. Kali ini, aku melakukannya pada novel Polaris Musim Dingin.
Polaris Musim Dingin sebenarnya bercerita tentang empat remaja yang masing-masing memiliki masalah dalam hidupnya. Masalah yang sama-sama berat, menguras emosi, membentuk karakter mereka masing-masing, dan yang akan menentukan bagaimana masing-masing dari mereka akan menjalani hidup ke depannya. Empat remaja itu bertemu dengan Sensei, sosok wanita tua yang bijak, yang punya kekuatan untuk merangkul empat orang tersebut, Akari, Kyouhei, Ryuji, dan Misaki. Cerita tentang mereka berlima berkisar pada Shirokuma Bistro, restoran milik Sensei di Otaru. Tempat mereka bersama-sama menjadi keluarga seiring dengan kebersamaan yang dilewatinya. Cerita tersebut diceritakan dalam bentuk kilas balik yang dialami Akari dalam perjalanannya menemukan kembali Sensei setelah menghilang sekian tahun lamanya.
Satu per satu masalah yang dialami karakter-karakternya dijabarkan perlahan, tidak terburu-buru. Satu hal mengupas yang lainnya, kemudian satu hal lagi. Novel ini seperti bawang merah yang berlapis-lapis, tapi bisa dikupas dengan rapi. Semua karakter memiliki perkembangan yang tidak mendadak. Membaca novel ini membuatku merasa mengikuti perkembangan mereka dengan menjadi bagian di dalamnya. Satu per satu.
Polaris Musim Dingin ditulis waktu penulis berada di titik terendah dan menjadi seindah itu. Aku membacanya di salah satu postingan Instagram penulis. Hal itu membuatku semakin jatuh cinta pada novel ini. Dalam titik terendahnya, penulis bisa menulis tulisan serapi dan seindah ini. Aku merasakan emosi yang ingin disampaikan penulis pada pembacanya. Pesan-pesan di dalamnya membuatku berpikir keras beberapa kali. Sama kerasnya seperti waktu aku membaca buku-buku self improvement. Sialnya, aku banyak mempertanyakan diriku sendiri ketika membaca buku ini dari awal sampai akhir.
Ya, salahku, sih. Aku membaca novel ini mungkin dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Makanya banyak hal yang seolah menamparku dan membuatku berpikir ribuan kali. Ketika kalian membaca buku ini, kalian akan merasa dikuatkan. Sama seperti ketika Akari mengulang-ulang ucapan Sensei, “Hiduplah untuk satu hari lagi. Berjuanglah untuk satu hari lagi.”
Membaca cerita ini seperti dituntun untuk menemukan mimpi. Rasanya bagaimana? Pertama aku kesal. Kesal karena ketika membaca bagian di mana para karakter menemukan mimpinya, aku malah bertanya pada diri sendiri. Apa mimpiku? Apa yang akan kukerjakan ketika aku akhirnya mencapai mimpiku? Mimpi itu bisa jadi sangat sederhana. Sesederhana apa pun, dia akan mampu membuat kita tetap melanjutkan hidup, tetap membuat kita melangkah meski satu tapak lagi. Bagaimana dengan tujuan hidup? Berkali-kali karakter Sensei membahas mimpi dan tujuan hidup yang membuatku bertanya tentang itu pada diriku sendiri.
“…tapi dia juga tidak tahu mengapa dia ingin hidup. Mungkin karena dia takut mati, mungkin juga karena dia hanya tahu caranya hidup. Yang jelas seperti itulah dia hidup; melamar kerja di suatu tempat, kehilangan pekerjaan tersebut, melamar kerja di tempat yang lain, lalu kehilangan pekerjaannya lagi. Tahun demi tahun dia lewati untuk hidup, tanpa sekali pun memikirkan alasannya bertahan hidup. Kita maka untuk hidup. Kita bernapas, bersosialisasi, berbelanja, semuanya untuk hidup. Tapi menurut Sensei, selama kita tidak memiliki sebuah alasan—sebuah tujuan hidup yang kuat—kita tidak pernah benar-benar hidup.” – hlm. 153
Tiap paragraf yang ada di novel Polaris Musim Dingin membuatku ingin memeluk diri sendiri. Serius. Kalian harus baca. Kalau sudah baca, kalian bisa ambil waktu sejenak untuk memikirkan apa yang Sensei katakan pada anak-anak remaja di novel tersebut. Terima kasih, Kak Alicia Lidwina. Terima kasih untuk ceritanya yang hangat dan menginspirasi.
“…hidup akan terus menemukan cara untuk menjatuhkanmu. Meski hari ini kau merasa bahagia, hidup pasti akan menemukan jalan untuk menghalaunya—membuatmu kembali jatuh terpuruk. Pasti akan ada hari ketika aku kembali mempertanyakan untuk apa aku hidup—untuk apa aku berjuang setiap hari” – hlm. 345
Rating : 4.5/5
Leave a Reply