“Nothing”
¶ Dhamala Shobita Storyline © 2014
*
“I don’t wanna be your best friend. I only wanna be your lover. When will this end?” – 98 Degrees’ Why
*
*
SEMUA bermula di toko roti terkenal kedua di Verona, Emmet Bakery, yang berada dekat dengan Casa di Giuletta. Di balik etalase kaca yang menyimpan beberapa macam roti, muffin, dan kue-kue serta roti yang aromanya menggelitik indera penciuman tersebut, di balik keramaian pengunjung laki-laki dan perempuan yang duduk memenuhi meja dan kursi rotan kecil di sekitaran ruangan, pada pagi hari yang dibarengi dengan rintikan hujan salju kecil-kecil.
Aku dan salah satu temanku berpindah posisi dan satu tempat ke tempat yang lain, membungkus rerotian yang dipesan para pengunjung atau sekadar membersihkan meja pengunjung yang sudah memakan habis rotinya. Kemudian aku berpindah ke deretan meja-meja rotan bundar yang tersusun di ruang tengah toko roti tersebut, merapikan meja-meja dengan rapi dan menggeser tiga kursi agar terletak memutar di satu meja.
Terkutuklah si empunya toko roti yang biasa kupanggil Madam Emmet itu karena sudah menyuruhku membereskan meja dan kursi-kursi bekas pelanggan ini. Berkatnya kini aku sukses termangu, menatap rintikan salju yang dibiaskan lewat jendela-jendela kaca yang terpasang lebar-lebar di depanku. Bukan, bukan rintikan salju yang kulihat lekat-lekat hingga aku mengabaikan pekerjaanku. Ada satu hal lagi yang kutangkap di sana. Di bawah kanopi yang ada di salah satu jendela, seseorang berdiri seraya menepuk-nepuk bahunya, menghilangkan sisa-sisa salju yang bersarang di bagian bahu jas berwarna abu-abu miliknya.
Satu detik…
Lima detik…
Sepuluh detik…
Aku menimbang untuk mengangkat kakiku menghampirinya atau hanya mengawasinya dari tempatku, tanpa harus melakukan apa-apa. Hanya menatap pasif dengan mataku tanpa bisa melakukan apa-apa. Dan pilihanku jatuh pada pilihan kedua. Mengawasi dari kejauhan adalah opsi tepat yang aku pilih.
Tertawalah aku beberapa detik kemudian ketika sosok laki-laki yang barusan berteduh di bawah naungan kanopi bergaris merah putih tersebut berlari pelan, menembus rintik-rintik salju yang masih cukup lebat. Dengan itu aku tahu pilihanku benar-benar tepat. Ya, mengawasi dari kejauhan saja sudah cukup.
**
AKU mengenal laki-laki itu dua tahun lalu—laki-laki yang berteduh di bawah kanopi toko roti milik Madam Emmet pagi tadi. Sebut saja namanya Emmanuelle, aku biasa memanggilnya Nuelle.
Nuelle, seniorku di Universitas Milano, tempatku mengenyam pendidikan sebelum akhirnya aku memutuskan hengkang dan hijrah dari Milan ke sebuah kota kecil di bagian utara Italia ini. Nuelle tinggal di flat yang sama denganku, kamar kami berjarak tepat satu lantai. Aku di lantai dua dan kamar Nuelle terletak tepat di atas kamarku, lantai tiga.
Aku hampir tahu apa-apa yang dilakukan Nuelle setiap harinya. Ketika musim panas dan musim semi tiba, Nuelle akan bangun sebelum jam tujuh pagi untuk melakukan jogging di sekitar flat. Kemudian ia akan kembali setelah kurang lebih satu jam dengan membawa sekotak susu dan koran pagi yang dibelinya di ujung jalan. Dan ketika musim dingin tiba, Nuelle akan lebih sering melakukan gerakan naik turun tangga. Ia bilang hanya karena ia ingin tetap hangat ketika udara dingin menerpa tubuhnya.
Lama kelamaan aku dan Nuelle semakin dekat. Kami tak hanya bertukar sapa di tangga sebelum Nuelle naik ke kamarnya di lantai tiga tapi juga saling bertukar waktu untuk sekadar minum teh bersama atau menikmati brunch di kafetaria dekat universitas kami. Aku dan Nuelle lama-kelamaan berkembang seperti Lola dan Kyle dalam film LOL. Tentu saja minus konflik cinta yang rumit dari mereka.
Sahabatku yang lain, Danielle, pernah bertanya padaku apakah aku atau Nuelle tidak pernah memiliki perasaan satu sama lain? Aku masih ingat ia bertanya padaku ketika acara graduation party diadakan oleh universitas kami. “Apakah kau dan Nuelle tidak pernah sekali pun saling mencintai? Maksudku, ayolah, Celle. Kalian selalu bersama hampir setiap saat, mana mungkin tidak ada benih-benih cinta yang tidak tumbuh, baik sengaja ataupun tidak.”
“Dan, kau tahu apa yang ada dalam otakku? Menurutku jatuh cinta pada sahabat sendiri seperti hubungan tabu antara kakak dan adik, itu incest. Kau mungkin mengetahui segala macam yang ada di hidupnya, bahkan di hatinya, tapi untuk jatuh cinta, kurasa itu sulit.” Begitu caraku berdalih dari pertanyaan Danielle.
Aku baru saja akan mengambil segelas coke di meja ketika ada wangi parfum yang menggelitik indera penciumanku. Sesuatu yang familiar. Aku mencari asal wewangian tersebut dan mendapati sosoknya tak jauh di belakangku. Mataku tertangkap olehnya. Emmanuelle berbalut polo shirt berwarna khaki yang pas di tubuhnya sehingga memberikan kesan maskulin di lekuk tubuhnya terekspos cuma-cuma. Laki-laki itu tersenyum ke arahku, senyuman khas dengan memamerkan gingsul kecil di gigi kiri atasnya.
Aku tertegun.
Mungkin ini pertama kalinya dewa cinta Yunani bernama Cupid benar-benar datang padaku setelah dua puluh tahun tak pernah menghampiriku. Mata abu-abu Nuelle seolah menyihirku, melumpuhkan semua pikiranku tentang ketabuan yang selama ini kuyakini kuat-kuat. Nuelle berhasil membuatku berpikir ingin melepas label sahabat antara diri kami. Tepat ketika ia tersenyum ke arahku malam itu.
Tapi kemudian arah mataku berganti ke tangan kiri Nuelle, bertautan dengan tangan seorang gadis yang tak kukenal siapa. Gadis berwajah oval dan tirus itu berbisik ke arah Nuelle dan mengecup pipi laki-laki itu sekilas. Setelah bicara dengan gadis yang digenggamnya, Nuelle menoleh ke arahku, bibirnya membentuk kalimat tanpa suara.
“Akan kukenalkan dia padamu.” Aku menangkapnya dengan jelas kemudian membalasnya hanya dengan sebuah anggukan.
Hari itu, pertama kalinya aku merasakan Nuelle sangat jauh dariku walaupun sebenarnya kami begitu dekat.
**
“Lama tidak bertemu denganmu, Celle.”
Nuelle berdiri di depan etalase kaca yang tingginya nyaris melampaui batas dadanya. Tangan kirinya menggenggam satu gelas kopi yang berlabel Emmet bakery jugB, mungkin sudah lebih dulu dipesannya lewat karyawan lain di toko ini.
Aku melirik Nuelle cepat dan kembali menyibukkan diriku dengan pesanan-pesanan roti pengunjung. Mengapa ia pada akhirnya dapat menemukanku di sini setelah kemarin aku berhasil menghindarinya? Laki-laki itu masih saja memamerkan senyuman khasnya yang selalu saja manis menurutku, tidak berubah.
“Hemm.. Lama tidak bertemu denganmu juga, Nuelle.” Aku membalasnya singkat, berniat membuatnya tak nyaman dengan percakapan itu, sekaligus ingin membuatnya pergi cepat-cepat dari hadapanku.
Aku sengaja berpura-pura sibuk agar Nuelle merasa aku tidak mengacuhkannya tapi yang terjadi tidak seperti yang kuharapkan. Nuelle tetap berdiri di tempatnya, mengawasi gerak-gerikku seraya sesekali menyesap kopi di genggamannya. Namun ketika aku tak sengaja menoleh ke arahnya, sengaja ia pameran senyumannya ke arahku, membuatku terpaksa luluh dan menghampirinya.
Matanya yang berwarna abu-abu menunjukkan ekspresi kepuasan. Ditatapnya mataku lekat-lekat sementara ia seolah enggan menghapus senyuman dari wajahnya yang, well, tampan menurutku.
“Apa kau tidak bisa duduk saja di mejamu, Tuan? Kau lihat, aku sedang bekerja. Apa kau ingin menafkahiku jika aku kehilangan pekerjaanku? Tidak, bukan? Jadi kumohon jangan menggangguku,” ujarku kesal.
Laki-laki itu mengintip arloji yang melingkar di tangannya kemudian tersenyum. “Setengah jam lagi menuju waktu kerjamu. Baiklah, aku akan menunggumu di meja yang paling dekat dengan ruang karyawan itu. Jangan coba-coba melarikan diri dariku, Nona Celesta.”
Nuelle benar-benar melakukan apa yang diucapkannya. Langkahnya menuju meja bundar berkursi dua tepat di samping ruang karyawan tersebut terlihat benar-benar ringan. Aku bisa melihatnya meletakkan segelas kopi di tangannya kemudian membuka ponselnya dan menenggelamkan dirinya sendiri di dalam dunia gadget canggihnya tersebut.
“Pergilah menemuinya. Kulihat laki-laki itu benar-benar datang untuk bertemu denganmu. Madam Emmet tidak akan marah jika kau hanya menemuinya untuk beberapa menit.” Rekan kerjaku, Chiara, menyarankanku untuk pergi menghampiri Nuelle. Aku menoleh ke arahnya, mendapati laki-laki itu menyembunyikan kebosanannya di balik kesibukan jari-jarinya menyentuh layar smartphone yang digenggamnya.
“Tolong jangan beritahu Madam Emmet kalau aku bertemu dengan seseorang pada jam kerja, Chi,” pintaku.
“Tidak masalah.” Anak itu tersenyum ke arahku sebelum aku menyerahkan sebuah kardus roti ke arahnya. Aku berjalan pelan ke tempat di mana Nuelle duduk, menarik satu kursi di hadapannya kemudian melipat tanganku di depan dada.
“Kau punya waktu lima menit untuk bicara denganku, Nuelle. Setelah itu kau harus berjanji tidak akan menggangguku kerja. Ah, satu lagi! Kita juga tidak akan menemuiku ketika jam kerjaku usai nanti.” Aku berkata lebih dulu, memunculkan prasyarat-prasyarat ke hadapan Nuelle.
“Sepuluh menit,” tawarnya setelah lebih dulu meletakkan ponselnya di atas meja.
“Tujuh menit dan ini tawaran terakhirku. Ambil atau tidak sama sekali.” Aku mengancam. Sengaja.
Sungguh, kulakukan ini bukan karena aku tidak ingin menemuinya. Aku sangat ingin menemuinya. Menemuinya adalah satu-satunya hal yang ingin kulakukan sejak aku memutuskan untuk hijrah ke Verona. Sekaligus satu-satunya hal yang ingin kuhindari sepanjang hidupku.
Lalu, suasana di antara kami mendadak berubah hening. Masing-masing aku dan dia tidak menyuarakan apa pun. Hanya keriuhan pengunjung toko dan alunan Why yang dipopulerkan oleh 98 Degrees yang terdengar di telingaku. Aku dan Nuelle sama-sama menyelami keheningan masing-masing, menatap lurus ke bawah, ke arah meja rotan berwarna cokelat tua, properti Toko Roti Emmet.
Jantungku berdetak cepat, aku menyadarinya. Laki-laki di depanku ini memang sama sekali tidak kehilangan pesonanya. Buktinya, sudah satu tahun tidak bersua dengannya namun ia masih tetap memberikan riak-riak di hatiku. Wajahnya tetap setampan dulu, dengan beberapa rambut halus di dagunya, hasil cukuran yang mulai tumbuh. Ia terbiasa menjaga penampilannya seperti itu.
“Aku sudah tidak bersama Annalise, Celle,” lirihnya.
“Lima menit lagi.” Bodoh! Bukan kalimat itu yang harusnya keluar dari mulutku. Harusnya kalimat yang kuloloskan berupa kalimat interogatif untuk sekadar bersimpati padanya. Bukankah aku yang tahu seberapa cintanya Nuelle pada gadis bernama Annalise itu? Gadis yang menjadi salah satu alasanku hijrah ke kota ini.
“Aku merindukanmu.” Kali ini kau yang salah mengucapkan kalimat, Nuelle. Harusnya kau menanyakan kabarku sebelum kau berkata rindu padaku. Karena kalimat rindumu tidak akan mampu menghapuskan kabar burukku setelah kau pergi. Ya, karena rindumu tidak pernah nyata di mataku.
“Pulanglah, Nuelle. Kau bisa menemuiku lagi ketika aku tidak tengah bekerja.”
Aku mengusirnya. Tidak. Aku hanya belum siap bertemu dengannya.
**
“Hanya karena kau ingin—apa yang kau katakan tadi?”
“Hanya karena aku ingin menemuimu.”
Aku tertawa pelan kemudian menendang-nendang salju yang menutupi sebagian jalan menuju tangga kecil di pintu masuk flatku. “Kau tidak akan serepot ini jika kau hanya ingin menemuiku. Kau bukan tipe orang macam itu, Nuelle,” kataku.
“Ayolah, Celle. Satu tahun kau menghilang tanpa jejak dan sekarang ketika aku berhasil menemukanmu, kau malah tidak ingin bertemu denganku? Apakah kau benar-benar tidak merindukanku? Apa masalahmu denganku hingga kau bersikap seperti ini?” Nuelle mulai kehilangan kesabarannya, terdengar lewat kalimatnya yang meninggi.
Ia mengusap-usap tangannya. Hawa dingin malam itu menusuk tulang-belulangku, mungkin juga Nuelle, membuatku rasanya ingin saja menawarkan laki-laki itu masuk. Ia sudah ada di sana ketika aku pulang. Bahkan aku sama sekali tidak memberitahukan alamatku. Pasti Chiara.
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu jika kau memang tidak merindukanku. Tapi ayolah, Celle. Apa kau tidak rindu masa-masa muda kita? Bercerita bersama. Apa kau tidak ingin mengulangnya?” Dia merajuk, membuatku semakin membenci keadaanku sekarang. Aku mengeratkan mantel bulu tebal yang kukenakan kemudian mendesah, menimbulkan sejumlah uap dari mulutku.
“Apa kau kedinginan?”
Bukan masalahmu jika aku kedinginan, ucapku dalam hati. Tapi mulutku terkunci, seolah tidak ingin mengatakan apa pun di hadapannya. Hening. Yang aku dengar hanya suara kakiku yang sesekali menggesek-gesek aspal. Nuelle meniup-niup telapak tangannya agar lebih hangat kemudian meletakkannya di pundakku, menghangatkanku dari udara yang dingin.
“Aku dan Annalise. Kami sudah berakhir.”
Aku terdiam. Air wajah Nuelle berubah sendu dalam sejenak. Kuharap ia akan berteriak surprise dan meralat ucapannya tentang Annalise barusan, bukan karena aku tidak ingin mendengar perpisahannya dan Annalise tetapi karena aku tidak ingin melihat wajah Nuelle ketika ia bersedih. Aku benar-benar lemah untuk hal terakhir yang kusebut itu.
“Jika maksud tatapanmu adalah karena aku tidak percaya padaku, kau boleh mencari tahu semuanya terlebih dahulu, Celle. Tapi kurasa kau lebih tahu, aku tidak akan pernah berbohong kepadamu, apa pun alasannya itu,” dalih Nuelle.
Salju hari itu mulai menitik lagi, membawa potongan-potongan kecil memoriku dengan Emmanuelle. Memori yang kusimpan dalam selama nyaris satu tahun. Dan kini ketika salju mulai hampir habis pada musimnya, laki-laki itu datang lagi menggali semuanya, memunculkannya lagi di permukaan.
Dingin yang semakin menyengat membuatku tidak lagi mampu bertahan. Bibirku mungkin sudah mulai membiru, mengingat begitu juga warna bibir Nuelle sekarang. Sejenak aku merasa diriku jahat. Sedetik lagi, aku akan membuat Nuelle tersiksa menikmati dingin yang menyesap melewati mantel tebalnya. Maka aku memutuskan mengajaknya masuk. Musim dingin ini terlalu keras untuk sebuah memori indah yang harusnya dikupas penuh kehangatan.
“Masuklah. Kurasa memang sudah waktunya aku mencari tahu tentangmu, tentang dirimu yang hilang satu tahun belakangan ini. Dan masalah Annalise… Aku turut bersedih, Nuelle.”
Naif.
Aku kini bertanya pada diriku sendiri, bagaimana aku bisa melalui malam ini tanpa rundungan kegalauan? Bagaimana aku bisa meredam sedikit saja kegiranganku ketika mendengar cerita Nuelle tentang hidupnya? Bagaimana aku bisa menyembunyikan kebahagiaanku bertemu dengannya? Atau lebih parahnya, bagaimana jika Nuelle malah menangkap rasa itu lewat mataku?
***
-to be continue –
Notes : Ini ditulis untuk melengkapi tantangan @KampusFiksi #TantanganEmpatMusim pekan pertama bertajuk #WinterStory. Selanjutnya, kisah Celesta dan Emmanuelle akan menghiasi tantangan-tantangan berikutnya. Thank you for reading, ppl! 🙂
image credit : favim
rumahwarisan
keren… 5 jempol deh untuk ceritanya….
tapi masih ada beberapa typo yg perlu diperbaiki 🙂
jamonghyun
WOOOAAAAHHHHH !!!! ga bisa komen krn aku terlalu sulit bt ngmg untuk setakaran/? Crta yg bs disebut ky potongam novel . Menurutku haha .. aku suka .. kamu jjang bgt klo udah bkin gini .. ntah knp tanpa ada unsur kekoreaan crta km lbh bagus 1 tingkat . Tandanya km emg ada bakat bt nerbitin novel . Semogaaa :^)
dhamalashobita
Aaaaa benarkah, Kak??? Makasih ya Kakak.. 😀
Ini masih banyak kurangnya banget. Hehehe..
Amin. Smoga bisa nerbitin novel yaa.. Nanti kakak wajib beli 😀
Hehehe
dhamalashobita
Reblogged this on Le Ciel Airlines.
neys
Ini harusnya aku baca duluan ya? Okeee aku bacanya kebalik urutannya. Tp ini juga keren! Pas banget dijadiin novel, Mala… ^^
dhamalashobita
Hahaha. Iya, Ce, kebalik.. 😀
Makasih ya, Ce.. 😀