credit pic : here
“Siapa yang tahu apakah aku akan hidup di tempat yang paling rendah di bumi atau berkuasa di langit tertinggi, atau bahkan aku harusnya berada di tengah-tengah. Tidak terlalu tinggi untuk bermimpi, tidak terlalu rendah untuk larut dalam gelapnya kenyataan.”
∞
Aku tengah nyaman berdiri di puncak tebing yang tingginya tak terkira. Menembus awan hingga kakiku mampu mengayun menembusnya. Bumi di bawahku hanya tampak kehijauan, tidak jelas mana gedung kota metropolitan, mana yang berupa ladang dan sawah. Sungai bagaikan ular, laut bagaikan oasis. Di atas kepalaku, langit biru dan awan putih, seperti kepulan asap yang tidak pernah hilang.
Akhir-akhir ini, banyak mulut berkomentar tentang kebiasaanku bermimpi. Padahal bukannya aku bermimpi perkara kotor atau mimpi tak bermakna. Aku hanya memimpikan masa depanku yang sebenarnya tak ada satu orang pun berhak berkomentar atasnya. Jika kutanya sendiri pada diriku di depan cermin, tidak pernah kudapat jawaban atas pertanyaan dariku sendiri. Atas dasar apa aku dapat membiarkan orang-orang mengomentari mimpiku? Ah, persetan dengan orang-orang itu. Aku tidak sedang membicarakan mereka.
Sekarang aku ingin bertanya, mengapa perlu terlalu sibuk bermimpi sehingga dalam satu kedipan mata, duniaku yang mungkin kurasa hanya beberapa jam, berbalik menjadi beberapa tahun? Oh, aku lupa ini bukan di negeri kahyangan. Satu hari boleh punya dua puluh empat jam, tidak kurang dan tidak lebih. Lalu berapa banyak waktu yang harus aku sisihkan untuk bermimpi? Bukan sekadar mimpi. Aku merencanakan kehidupanku.
Aku di masa seragam putih abu-abu membayangkan dengan jelas menjadi seorang farmakologis, bergumul dengan obat-obatan, meracik, menghapal jenis dan khasiatnya, meramu sesuatu. Maka aku belajar, entah bagaimana untuk bisa meraihnya, setiap hari.
Aku bermimpi tentang buku dengan namaku yang berjajar di toko buku. Aku bermimpi tentang tulisan-tulisan yang membuat pembacaku merasa bahagia, merasakan makna ketika membacanya. Aku bermimpi tentang masa depan, wirausahaku yang memberikan lapangan kerja untuk orang-orang, kemudian rumah sederhana dengan perpustakaan di dalamnya. Sepasang anak kecil yang kudongengkan sebelum tidur, juga pasangan hidup yang selalu menyempatkan diri membagi ceritanya sepulang kerja.
Aku dulu menulis daftar, tentang tempat-tempat yang ingin kukunjungi. Tentang tabungan rinciku untuk menyambanginya. Bagaimana foto yang akan kuambil di sana, tempat mana yang kukunjungi, dengan siapa aku pergi.
Aku benar-benar merasa seperti hidup di atas langit, mengembara, dan mewujudkan semua mimpi-mimpiku. Tapi nyatanya aku bahkan tak punya waktu untuk itu. Aku bermimpi tentang usia dua puluh di usia lima belas, kemudian waktu berjalan hingga aku berusia dua puluh. Aku bermimpi tentang dua puluh lima di usia dua puluh, waktu berjalan sekejap saja menjadi usia dua puluh lima. Waktu berjalan dalam hitungan kedipan mata, dan ketika kau selesai berkedip, putarannya sudah terlampau jauh hingga kau sulit untuk kembali atau sekadar memperbaiki.
Aku berpikir lagi tentang hal-hal yang belum sempat kulakukan dalam daftar, tempat-tempat yang belum sempat kukunjungi, dan tujuan-tujuan yang belum sempat kuraih. Kemudian dalam sekejap mata, ketika aku berpikir tentang semua hal yang belum sempat kukerjakan, aku terjatuh dari ketinggian. Bagaimana rasanya? Jantungmu seperti terlepas dari tempatnya. Pandanganmu buram. Seluruh mimpi seolah luluh lantak, hancur berkeping-keping ketika aku sadar bahwa waktuku tak lagi banyak. Dadamu sesak dan kau seperti tidak lagi bisa bernapas dengan benar.
Bahwa kini aku bukan seorang ahli farmasi seperti yang pernah kuinginkan. Bahwa tulisanku hanya seperti butiran debu di antara ribuan bahkan jutaan ton pasir di bibir pantai. Bahwa aku masih berdiam di tempat yang sama dan belum mengunjungi tempat-tempat dalam daftar yang kususun beberapa tahun silam. Bahwa aku masih berkutat dengan tujuan-tujuan dalam hidupku yang menumpuk seperti tumpukan dedaunan kering di pekarangan rumah, dan sama sekali belum kubersihkan.
Dan ketika aku terjatuh, ketika di sekelilingku sudah tak ada lagi awan, aku terhempas ke bumi. Ke dalam sebuah gubuk di lembah yang sunyi. Aku terjatuh tapi tidak mati. Tepat di sudut, menemukan kegelapan dalam dunia nyata. Dan ketika aku membuka mata, di sanalah kenyataan itu berada. Berbanding terbalik dengan semua mimpi dan angan yang sudah dengan apik kususun. Menyedihkan. Tidak lebih baik dari apa pun. Tidak ada tanda centang dari daftarku.
Tapi mungkin aku tahu, bukan di situ aku berada.
Aku mencari jalan keluar dari setitik cahaya yang merangsang pupilku. Hanya setitik, tapi mungkin dapat membuatku kembali terbang ke langit. Siapa sangka, mungkin aku memang ditakdirkan untuk hidup di langit. Di antara angan dan impian yang kemudian hari akan menjadi nyata. Siapa yang tahu jika kenyataan yang gulita itulah yang sebenarnya berupa fantasi, angan terburuk yang kucapai ketika aku tidak bisa mencapai impianku. Siapa yang tahu apakah aku akan hidup di tempat yang paling rendah di bumi atau berkuasa di langit tertinggi, atau bahkan aku harusnya berada di tengah-tengah. Tidak terlalu tinggi untuk bermimpi, tidak terlalu rendah untuk larut dalam gelapnya kenyataan.
Tapi di waktu yang sama ketika aku berpikir waktu terlalu cepat berlalu, mungkin sebenarnya yang terjadi adalah kebalikan. Kekhawatiran akan masa depan, akan semua mimpi tersebut yang membuat semua terasa lebih cepat. Seperti dalam kedipan mata. Dan saat itu juga aku tidak yakin, apakah waktu berjalan lebih cepat atau lebih lambat. Yang jelas, jika dalam sekejap mata, waktuku kembali berlalu. Setidaknya aku tahu aku sudah mulai melakukannya, untuk terbang cepat dalam batasku. Untuk melewati titik rendah, menjadikannya sebagai ancang-ancang untuk sampai di tempat yang lebih tinggi, kemudian menjaga keseimbanganku di tengah. Tepat di antara mimpi dan realita yang kuhadapi. Tepat ketika waktuku berlalu dalam kedipan mata. Aku sudah tahu di mana harusnya letak diriku.
∞
Kudoclasm
The future is already rushing towards you. Sometimes it feels like your life is flashing before your eyes, but it’s actually the opposite: you’re thinking forward, to all the things you haven’t done, the places you intend to visit, the goals you’ll get around to[The Dictionary of Obscure Sorrows – John Koenig]
La Princesa
dhamala haloww, eh perkenalan dulu biar enak ehe. aku putri, 91l. salam kenaaal. :))
anyway, aku kageet loh masih ada yg nulis obscure sorrow ehehe kirain udahan ga ada yg nulis lagi. td mau matiin laptop tp dikasih tau fika kalo kamu nulis dan pas buka notif ih beneeerrr. wawawa aku berterima kasih duluuu.
mungkin aku baca besok bikos aku sedang rada gaenak badan, huhu maafkan. aku nggak mau asal asalan baca bikos udah ditulisin juga ehe. jadi … izin kureblog dulu ya? anyway makasih sekali lagiii. <3
La Princesa
Reblogged this on The Mad Danseur.
fikeey
malaaaa x) aaaa akhirnya aku main ke blogmu lagiii hihi. sumpah deh pas kemaren aku liat kamu update terus omg obscure sorrows! aku langsung ngibrit ngeline kakput terus aku heboh hehehe.
anw … ya ampun akuuuu bisa relate banget sama monolog kamu mal. like, aku pun dulu kayak gitu. apalagi pas aku sma dan sama guru bk disuruh ngegambarin kita nantinya mau jadi apa, mau ke mana, dll dsb gitu deh. and then lulus sma dan kuliah. padahal sebelumnya aku punya pandangan pas kuliah mau ikut ini itu, gabung ini itu but gak kesampean. huft. kebetulan aku masuk jurusan teknik dan … kuliahnya ga santai sama sekali :” terus abis lulus kuliah, lagi lagi aku yang kayak: ini bukan yang dulu gue bayangin. ke mana semua perginya cita cita gue. gituuuu. makanya tadi pas baca aku tuh antara tertohok sama yang: sumpah ini mah aku banget :”(
mala bagus banget monolognya aku suka dan relatable banget. btw walaupun yang punya event ini kak putri, but aku ikutan seneng karna kamu ikutan hihi. aku selalu suka bacain obscure sorrowsnya author lain x) yosh! keep writing yaaa malaaa hihi x)
dhamalashobita
Fikaaa! Iya, Kak put sempat komen terus bilang kamu ngeline kakput.. 😀
Aku kayaknya telat banget ya partisipasi di Obscure Sorrow-nya. Aku belum sempat bacain semua juga.. Huhu.
Wah, berarti kejadian macam itu bukan aku sendiri ya yang ngalamin. Hehehe. Kadang penyesalannya masih suka bikin cekit-cekit hahaha
Aku juga di teknik dan emang ga bisa santai…. ㅠㅠ
Aku juga seneng banget dikomen sama senpai macam fikaaaa.. duh duh duh. Makasih banyak ya fika udah mampir.. xoxo :))
La Princesa
AKU MAU HEBOH.
huft tarik napas dulu, sik sik. pertama, maafkan kelambanan diri ini. mau jujur ya mala, aku rada terintimidasi sama tulisanmu HAHAHAHA. ya tulisanmu (cantik bgt aku gmz) dan topik yg kamu angkat. obscure sorrow sebagian besar emang mengangkat anxiety dan topik topik sensitif sih, tapi ini tuh … apa yha. serem gitu. gak serem juga, tapi menyentil dan yha … aku banget, kekhawatiranku lah. 🙁 jadinya aku beneran maju mundur mau baca.
itu jujurnya. plus alasan lain, yg sibuk lah yg apalah, yg apalah, biasa. HEHEHEHE.
tapi ini cantik sekali. gak ada koreksian redaksional (bukannya gak mau, tapi aku gak nemu?????????) (tuh kan cantik aku kesal) (kesal karena terlalu menikmati). aku malah belajar beberapa kata baku btw, makasih mala EHEHEHEHEHE. <3 <3 <3
trus aku mau bahas yg kamu tulis. ini cantik LYKE SUPER CANTIK AKU KZL??????????? aku barusan baca obscure sorrow yg lain sih dan tulisannya tentang sarkastisme gituh. dan trus aku jadi keinget, rerata tulisan obscure sorrow kalo gak tentang kemarahan yha kekhawatiran (perkecualian punya evin yg tentang jatuh cinta).
pas baca awal awalnya yha, aku masih ngawang juga. semacam rada kurang relate gitu. yha maklum kan mimpi sifatnya personal yha. maksute, beda orang beda mimpi gitu kan. trus ke bawah bawah, lha bener kan apa yg membuatku terintimidasi dituliskan. tbh aku punya depresi saking mengidap anxiety tentang masa depan dan mimpi dan tetek bengeknya. makanya aku selalu takut sama topik seperti ini. tapi yha, kalo mikir positifnya, ini kan proses yha. yha supaya kita bisa mencapai cita cita, dan proses supaya kita dewasa, jadi mau gimana pun kita harus bisa ngadepin.
aku sampe nanya anak kedokteran loh, dan katanya wajar kok. usia duapuluhan awal (biasanya sampe sebelum menikah) mudah terserang anxiety tentang mau jadi apa kita? biasalah anak muda, banyak mimpi gitu tapi realitas menghimpit. yg aku suka dari tulisan kamu, emosinya deuh. kamu gak muluk muluk, asli smooth sekali. tapi menampar. kaya semua orang bisa ngerasain apa yg kamu rasain. trus di akhirnya kamu menyelipkan optimisme supaya gak kalah sama kekhawatiran. syukaa. <3 <3
maaf yha mal aku numpang curhat huhuhu i cant help. tapi terima kasih tulisannya. makasih banget udah ikutan dan maafkan atas kelambanan diri ini. makasih juga buat tulisannya yg sekaligus jadi teguran yg manis hehe. seengaknya aku tau aku gak sendirian ngerasa begini.
keep writing malaaa! ^^ <3 <3 <3
jungsangneul
Kak mala aku baru aja nongol di sini HUHUHU. Rasanya … sangat sangat sangat menyentil membaca ini hiks. Karena aku di penghujung SMA dan lagi mikirin banyaaakk hal soal ini huhu. Sedih ngedengerin banyak testimoni yang gabisa ngeraih apa yang sebelumnya diinginkan, antara jadi ga pede sama pengen ngebuktiin juga kalau aku ga bakal begitu di masa depan. :(((( ah sudahlah sudah kkeut edisi galaunya. idup dijalani aja yha kan kak? hehehehe. mangat nulisnya kak mala, makasih tulisannya ^^