“You left plenty of room for what might happen, and somehow lost track of what was happening.”
*
Beberapa orang mungkin pernah mempunyai mimpi yang besar, jauh sebelum kita tumbuh dewasa. Jauh sebelum masalah mengenai iuran-iuran bulanan dan pandangan orang lain menjadi sesuatu yang harus dipusingkan nyaris setiap hari. Jauh sebelum pikiran kita dipenuhi dengan hal yang itu-itu saja, yang sebenarnya bukan merupakan standar kehidupan.
I used to have a big dream, and still do. Until I realize, “why am I living in such an ordinary life? I could be better than this.”. Then I forget how to dream again.
I took all the blame to my past. Lebih mudah menyalahkan hal lain ketimbang menyalahkan diri sendiri. Sepertinya banyak orang yang melakukannya—termasuk saya. Jika dulu tidak begini, mungkin saya tidak begini. Jika dulu saya tidak pergi ke sini, mungkin saya tidak akan seperti ini. Tetapi tidak ada yang bisa diubah. Ketika tidak menyadarinya, kita akan menyalahkan masa lalu seolah-olah kita dapat melakukan kehidupan kita satu kali lagi, dan tidak akan mengulangi pilihan yang sama seperti saat kita menjalaninya saat itu. Tapi ketika kembali pada kesadaran sendiri, ternyata tidak ada yang bisa diubah dari masa lalu itu.
Saya pernah bermimpi hidup di dalam dunia yang saya impikan. Hari-hari tidak se-monoton kotak hitam putih pada permainan catur. Saya tidak hanya bisa berjalan maju mundur lurus tetapi bisa berputar, melompat, menari, bahkan jungkir balik. Tetapi nyatanya, saya hanya berjalan seperti apa yang saya hindari—maju mundur dalam garis lurus. Sadar atau tidak, lama-kelamaan saya semakin menjauh dari kehidupan yang pernah ada dalam mimpi-mimpi besar saya.
Kehidupan yang seperti biasa—yang seperti saya dan sebagian orang lain jalankan—mungkin tidak punya banyak halangan. Dia berjalan mulus, sesekali ada guncangan yang membuat kita tidak stabil, tapi kita melewatinya dengan baik. Dengan sungguh baik hingga kehidupan itu tidak akan dalam keadaan buruk dalam jangka waktu yang lama. Lantas mengapa sepertinya tetap ada yang kurang pas dengan kehidupan semacam itu? Kehidupan di mana kita melihat semuanya terlihat menjadi lebih kecil dari yang pernah kita impikan. Rumah yang biasa-biasa saja, pekerjaan yang biasa-biasa saja, kegiatan sehari-hari yang biasa-biasa saja, kebosanan yang biasa saja, langkah-langkah kecil biasa yang kita harus jalani setiap hari, dan hal-hal biasa lainnya.
Pernyataan John Koenig di awal tulisan ada benarnya. Mungkin ketika membangun kehidupan ini, ada terlalu banyak ruangan untuk kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, hingga kita lupa apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ketika kita berharap mempunyai sesuatu yang lebih dari apa yang kita punya sekarang, tetapi yang kita lakukan hanyalah diam di tempat. Apa yang akan kita dapatkan?
Mungkin ini bukan kehidupan yang kita inginkan. Mungkin kita bermimpi akan sesuatu yang lebih, kemudian kita berusaha membangun semuanya seperti apa yang selama ini kita impikan. Seperti berada sedikit di atas kehidupan kita yang sesungguhnya, mengambang dan mengamati kehidupan kita yang biasa. Tapi tidak ada yang bisa kita lakukan dengan mengambang dan mengamati kehidupan kita yang sesungguhnya. Karena mungkin kita harus turun dan mengetahui apa yang sedang terjadi dalam kehidupan kita, mulai menyadari kondisinya dan menatanya agar menjadi sesuatu yang kita inginkan, membuatnya berekspansi sebesar kehidupan yang pernah kita impikan.
Saya ingin sekali berhenti bertanya “Why am I living like this? I could be better than this.”.
Dan menggantinya dengan “This is my life and I want to dream some more and make it come true.”.
∞
Koinophobia
The fear that you’ve lived an ordinary life. While you’re in it, life seems epic. Fiery, tenuous, and unpredictable. But once you have some distance from it, everything seems to shrink, until it’s almost out of focus. So you begin scanning your life looking for something interesting or beautiful. But all you see is ordinary people assembled in their tiny classrooms and workspaces, each of us moving around in little steps, like tokens on a game board.
[The Dictionary of Obscure Sorrows – John Koenig]
Leave a Reply