“I’m a crumpled up piece of paper lying here.” – Taylor Swift’s All Too Well
*
Menurutnya, aku masih berhak memegang kunci rumahnya sampai aku selesai memindahkan semua barang-barangku dari rumahnya. Maka di sini lah aku berdiri siang ini. Di depan pintu kayu rumah kecilnya, di atas undakan dari bebatuan yang dipenuhi semak belukar dengan bunga beraneka warna.
Dengan kakiku, kubersihkan daun-daun yang jatuh di pijakan teratas undakan batu. Sejak pertengahan hingga akhir musim semi, seingatku rumah ini dibiarkan kosong. Tidak tahu harus menaungi siapa kecuali barang-barang yang tidak begitu penting di dalamnya. Mungkin jika dia kembali nanti, dia harus memangkas semak-semak yang hampir menutupi pintu rumahnya karena aku tidak akan melakukannya hari ini.
Aku masuk ke dalam rumah. Setiap sudutnya membicarakan kenangan, memutar ulang kejadian-kejadian yang berlatar di sana. Setiap incinya membuatku melebur menjadi satu, seolah ingin menyadarkan bahwa aku adalah bagian darinya. Ruang tamu dengan sofa suede berwarna hijau mint, tempat pertama kali aku datang. Berbincang dengan segelas cokelat panas. Televisi tempat kami seringkali mendebatkan masalah siapa yang lebih bertalenta di antara para finalis Britain Got Talent, sambil sesekali mencuri-curi kecupan di sela-sela jeda pariwara. Dapur dengan meja keramik tempat biasa dia melingkarkan tangannya di pinggang ketika aku sibuk menyeduh kopi.
Aku menghela napas, kemudian lekas berjalan menuju kamar. Ada banyak barang yang menunggu untuk dikeluarkan. Pigura kecil di atas meja kerja di kamarnya bertuliskan nama kami. Liam dan Ashley. Kumasukkan benda kecil itu ke dalam tas. Lebih baik dibandingkan berakhir di dalam tempat sampah. Kujamin dia tidak akan menyisakan satu pun barang milikku—atau milik kami—di dalam rumahnya. Tidak akan ada yang luput menjadi santapan tempat sampah rumahnya. Kecuali kenangan, tentu saja.
*
“Diriku. Usia lima tahun dan sedang hobi membaca koran karena mengikuti jejak ayah.”
Waktu itu, Liam duduk di tempat tidur, menempelkan punggungnya ke sandaran tempat tidur dengan album foto di atas pangkuannya. Dia menunjuk fotonya, seorang anak laki-laki dengan kacamata dan kaus merah yang duduk sambil menggenggam koran. Lebar koran yang lebih besar darinya hampir menutupi tubuhnya.
“Kau terlihat cerdas,” ujarku.
“Apakah maksudmu biasanya aku tidak terlihat cerdas? Kau menganggapku seperti itu?” Liam melakukan protes sejenak sambil menggelitik pinggangku, membuatku menggeliat. Aku ingat dengan jelas bagaimana kami berakhir dengan pelukan hangat setelah perdebatan mengenai Liam kecil yang membaca koran.
Aku mengusap permukaan tempat tidur Liam sebelum membuka laci di meja kecil di sampingku. Memasukkan buku novel juga beberapa barang kecil milikku. Liam berpesan agar kamarnya bersih dari barangku. Tentu saja dia mengatakannya sambil menyuruhku untuk secepat mungkin mengambilnya. Padahal aku tidak ingin. Semakin cepat aku membereskan barang-barangku, semakin kecil kesempatan Liam untuk kembali menghubungiku. Aku paham Liam menyadari itu. Maka kami berada pada jalur yang tak lagi sama. Yang satu berharap segera melupakan, sementara yang satu bersikeras berdiri di tempat yang sama dalam waktu yang sedikit lebih lama.
*
Aku lupa mengatakan pada diriku bahwa semua yang baik tidak selamanya menjadi baik. Sejak Liam mengatakan bahwa ia harus pergi ke luar kota selama beberapa saat untuk liputannya, tidak pernah ada telepon sama sekali. Liam menyuruhku menunggu untuk kemudian menghilang begitu saja.
Suatu malam, dering telepon berbunyi. Darinya. Seperti sebuah janji akan pertemuan kembali, semua tampak begitu nyata dan meyakinkan. Tapi angan-anganku terlalu jauh mengudara. Liam hanya berkata kebalikannya, membuatku bungkam.
Potongan terakhir pakaianku sudah berada di dalam tas. Tidak ada lagi yang tersisa, atau biarkan saja yang tersisa menjadi makanan untuk tempat sampahnya. Aku tersenyum getir sambil melangkah keluar. Semua ingatanku akan kutanam di sini. Menjadi satu bersama kenangan. Kebahagiaan yang kadang selalu ada, sebenarnya tidak selamanya ada. Setelah ini, mungkin yang harus kulakukan hanya berusaha menjadi diriku jauh sebelum aku mengenal Liam, meskipun tidak mudah.
Karena mengembalikan vas pecah menjadi utuh seperti semula itu mustahil.
Leave a Reply