source : wordbypicture.com
Jill’s 4 a.m. Thought
by dhamalashobita
*
Angin malam yang berhembus tanpa suara, kaleng bir kedua yang nyaris kosong, Converse merah yang talinya terjuntai acak, serta pikiran-pikiran pukul empat pagi.
Dari angka nol hingga sembilan, jika semua orang bisa menilai ketahanan tubuh Jill terhadap alkohol, mereka akan memberinya angka nol—atau maksimal satu, sebagai angka kasihan. Dan di hari keenam sejak ia melarikan diri dari dari kekasihnya, Jill malah berusaha menentang fakta diri yang ia ciptakan sendiri, salah satunya adalah berusaha memberi angka lebih dari satu untuk kemampuan minumnya.
Hal lainnya adalah fakta bahwa ia tidak mudah bosan pada seseorang dalam suatu hubungan. Bagian ini, sudah ditentangnya sejak nyaris seminggu lalu. Jill tidak butuh kekasihnya lagi. Ia tidak membutuhkan Don sama sekali sejak laki-laki itu berubah. Ayolah, Jill hanya butuh seseorang yang bisa menemaninya menghisap ganja hingga pagi hari, melatihnya minum bir di atap rumah, mengerjai musuh-musuhnya di kampus dengan berbungkus-bungkus plastik pembungkus makanan, juga meracau apa saja mengenai hidup mereka.
Jill butuh seseorang yang dapat mengumpat bersamanya, bukan orang yang mengutip kitab-kitab suci tiap kali Jill membicarakan tentang wanita-wanita jalang yang selalu mencibirnya. Jill butuh seseorang yang mendengarkannya lebih banyak, bukan malah mendikte kesalahan-kesalahan kecilnya. Jill butuh seseorang yang menghargai eksistensinya tanpa pretensi apapun, bukan seseorang yang berbicara terlalu banyak tentang komitmen dan segala embel-embel bullshit di belakangnya.
Jill meneguk habis bir di tangannya. Senyum asimetrisnya terukir di wajah. Setengah sadar, ia menyambungkan ponselnya pada nomor milik Don. Kali ini Jill tahu dirinya tidak ingin membuang-buang waktu lebih lama lagi? Toh dia sendiri jelas-jelas tahu bahwa hubungan mereka semakin cocok disebut ‘orang asing’ dibandingkan kekasih.
Jill tahu, pikiran pukul empat pagi ditambah sabotase alkohol adalah yang paling berbahaya. Tetapi jika ia tidak melakukannya sekarang, Jill tidak tahu harus menipu diri seberapa lama lagi. Bertahan dengan sesuatu yang bahkan tidak sampai pada ekspektasi terendahnya. Jadi, karena Jill memutuskan untuk memasang ekspektasi setinggi-tingginya, tentu saja ia harus siap dengan konsekuensi terburuknya, bukan? Termasuk luka yang menganga setelah Don berubah menjadi sejumput kenangan besok.
“Don, seharusnya kita tidak mengambil jeda untuk ini. Jadi orang asing lagi sepertinya lebih menyenangkan. Jika kau sudah memenuhi ekspektasiku, mungkin kita bisa mencobanya lagi.”
Angin malam yang berhembus tanpa suara, kaleng bir kosong yang sudah remuk, Converse merah yang talinya terjuntai acak, serta pikiran-pikiran pukul empat pagi tentang dirinya yang kembali sendiri.
Oh, ada yang terasa janggal setelah ini berakhir. Mungkin besok aku harus sedikit menurunkan ekspektasiku jika aku sudah bosan sendiri.
fin.
Segala Hal tentang #Tinggi | #KampusFiksi
[…] Jill butuh seseorang yang dapat mengumpat bersamanya, bukan orang yang mengutip kitab-kitab suci tiap kali Jill membicarakan tentang wanita-wanita jalang yang selalu mencibirnya. Jill butuh seseorang yang mendengarkannya lebih banyak, bukan malah mendikte kesalahan-kesalahan kecilnya. Jill butuh seseorang yang menghargai eksistensinya tanpa pretensi apapun, bukan seseorang yang berbicara terlalu banyak tentang komitmen dan segala embel-embel bullshit di belakangnya. (Cerpen karya Dhamala Shobita @damalashobita, alumni KF4, lengkapnya bisa dibaca di sini) […]
Farrahnanda
Mal, di tulisan ini kamu berasa androgynous sexy~ 😍 pikiran kalut itu feminin banget tapi kemarahannya, meski samar dan ga frontal, itu maskulin banget. sukak!
dhamalashobita
Androgynous sexy itu jenis makanan apa- Hahaha. Oke oke. Itu iya, karakternya Jill memang begitu, Far. Feminin maskulin labil entah bagaimana. Hahaha.
Makasih, Farah! 😘