#1
Berhenti Khawatir
*
Dear kamu,
Bagaimana kabarmu nanti ketika membaca surat ini? Oke, pertama, mari kita sepakati bersama sebelum berbincang lebih jauh lagi. Tulisan tentang kamu, mulai dari tulisan ini dan seterusnya kita sebut sebagai surat. Kemudian kamu yang kini berada pada tulisan ini, aku tidak akan menjamin kamu akan bertahan di surat berikutnya. Kamu tahu, aku orang yang mudah dipengaruhi mood. Jika hari ini aku memilihmu menjadi nyawa dari ‘kamu’, maka besok, belum tentu aku memilihmu lagi untuk itu. Selanjutnya, mari kita berjanji bahwa kamu akan membaca ini hingga selesai. Aku juga tidak berjanji soal ke arah mana aku akan membawa isi surat ini. Aku tidak menjamin semuanya terdengar baik. Aku bukan manusia suci, pikiranku masih penuh kekotoran, dan aku tidak ingin dengan munafiknya berkata bahwa aku akan menulis surat cinta untukmu—surat yang berisi semua-semua yang baik dan indah. Oke, sebaiknya kini aku benar-benar memulai tulisanku.
Boleh aku bertanya sebelumnya? Darimana kamu datang hingga kemudian beranak-pinak dan mendarah daging dalam perspektif semua manusia? Di tiap cangkir kopi dalam sepi yang dipeluk malam erat-erat, kamu hadir dalam bayang-bayang. Aku jatuh cinta. Pada dirimu dalam asaku. Kamu terlihat begitu manis, bagai cokelat-cokelat pralin yang berjajar di etalase kaca pada toko cokelat kesayanganku. Kamu menggiurkan? Tentu. Kamu, dan semua penampilanmu yang terlihat manis seolah-olah semakin meyakinkanku untuk menikmati sosokmu kelak.
Seringnya, aku memetakan kamu sesuai konsep pikiranku. Aku membuat alur kehidupanku denganmu. Apa yang akan kulakukan kelak, bagaimana kehidupanku kelak, dalam asaku, semua nampak nyata. Menyenangkan dan tanpa ada satu hal pun yang terasa bias. Begitu banyak mimpi kurajut hanya karena dirimu. Karena merajut semuanya membuatku bahagia, membuatku mampu tersenyum sepanjang hari.
Namun ketika cangkir kopi yang penuh hanya tinggal menyisakan sedikit ampas di dasarnya, aku kembali disuguhkan pada fakta bahwa kamu tidak selamanya manis. Kamu seketika seolah menjelma menjadi sesuatu yang membuatku bergidik atau membuatku menutup mata seperti ketika aku menonton film horor. Pasalnya, ketika kamu datang nanti, semua yang terjadi belum tentu terasa manis. Kamu bisa saja sepahit dan seasam Kopi Hawai yang pernah kuicip di sebuah kedai kopi.
Kamu brengsek! Ups, maaf. Aku terlalu emosi. Biarkan sekali saja aku mengumpat padamu. Karena memikirkanmu, seringkali membuatku lepas kendali. Kadang aku menangis, kadang aku menjadi depresi, dan kadang aku tidak dapat fokus pada apa yang kukerjakan saat itu juga. Sejatinya, memikirkanmu dapat memporakporandakan hidupku. Kegelisahan dan kekhawatian yang mendominasi terkadang terlalu mengusik kehidupan yang kujalani. Ujung-ujungnya, kamu malah membuatku marah dan menangis.
Aku yang bodoh? Memang.
Oleh karena itu, aku ingin menyampaikannya padamu lewat tulisan ini. Aku jatuh cinta padamu. Pada apa-apa yang kita rangkai semanis mungkin agar kamu dapat memotivasi hari-hariku. Tapi maaf, mulai kini aku akan berhenti mengkhawatirkanmu secara berlebih. Mengkhawatirkanmu sungguh membuat hidupku tidak berjalan sebagaimana mestinya. Aku ingin hidup normal, aku ingin menjalani hidup sebaik-baiknya agar aku dapat merasakan manisnya kamu kelak. Kamu harus ingat, ketika aku mengkhawatirkanmu secara berlebih, sesungguhnya aku tidak sedang berbuat apa pun untukmu. Ketika aku mengkhawatirkanmu secara berlebih, pada kenyataannya aku tengah menghambat dirimu bertransformasi menjadi rasa manis.
Selamat menjadi mimpi manis yang kelak akan kucapai. Jangan biarkan aku mengkhawatirkanmu secara berlebihan, ya. Aku hidup untuk saat ini, demi manisnya dirimu di periode yang akan datang—jika aku masih diberi kesempatan merasakannya.
“You can’t stop the future
You can’t rewind the past
The only way to learn the secret
…is to press play.”
– Jay Asher, Thirteen Reasons Why
*
Pangkalan Kerinci, 28 Juni 2015
Untuk kamu—masa depanku (yang kerap kukhawatirkan secara berlebih).
margaretamentari
Aku jadi tergelitik bertanya, apakah ini tentang si “past” yg tidak akan bisa menjadi future, atau si “present” yang akan menjadi future, atau “future” yang entah berada dimana? 😉
dhamalashobita
Bukaaaaan.. Hahaha. Meleset jauh.
Ini bukan tentang mereka. :p
Ini tentang kehidupan.. Tsah #kibasrambut