Bertandanglah ke Andalusia. Gadis-gadisnya akan membuatmu jatuh cinta.
Kata orang, jatuh cinta itu mudah. Kau bisa melihat wanita cantik di kedai kopi, kemudian merasa bahwa dia adalah yang tercantik yang pernah kaulihat. Atau ketika berpapasan di stasiun dalam perjalananmu dari Cádiz menuju Sevilla. Jatuh cinta begitu mudah dan terjadi begitu saja dengan sangat cepat. Seperti ketika daun-daun bertulang pipih di depan rumahku jatuh ketika musim hujan tiba. Atau seperti turis yang berbondong-bondong datang ke pantai dekat rumahku ketika musim liburan tiba. Atau pada kasusku, seperti ketika sepasang bola mata cokelat menatapku lekat tepat ketika aku menginjakkan kaki pertama kali di Andalusia.
Tetapi orang jatuh cinta kerap lupa bagaimana rasanya kehilangan, sehingga mereka melupakan bagaimana sulitnya menjaga.
*
Suruh siapa ayah mengajakku ikut berlayar hingga ke Pelabuhan Algeciras. Padahal, aku bisa saja mengurus semua masalah kontainer-kontainer di kota asalku. Pengiriman barang akan tetap berjalan seperti biasa meskipun aku hanya duduk sambil mengangkat kakiku dari balik meja ayah. Tapi alih-alih menyesali keputusan beliau, aku malah tak henti-hentinya bersyukur.
Aku tidak akan lupa bagaimana cara ayah menarikku ke Andalusia. Bagaimana karena beliau, aku bertemu dengan seseorang yang tak pernah kuduga. Ya, siapa yang pernah menduga pertemuan dengan keajaiban. Bahkan jika hidup adalah kumpulan dari keajaiban-keajaiban kecil yang tersusun menjadi satu, kita belum tentu menyadari sepenuhnya. Karena keajaiban itu datang sedemikian kecilnya hingga nyaris tak terlihat.
Tapi kali ini, aku mengingat keajaiban dalam hidupku, seorang gadis bernama Lui.
“Luisiana.” Lui menggenggam layang-layang besarnya yang berwarna merah dan biru. Sementara aku hanya berdiri di depannya sambil tersenyum.
Ada puluhan, bahkan ratusan layang-layang di Playa de Valdevaqueros. Beterbangan bebas karena angin Mediterania dan Atlantik bertemu seketika. Di antara warna-warni keindahan layang-layang tersebut, senyum Lui merekah. Lebih cantik dari tujuh warna yang mendominasi latar langit dan pantai di belakang Lui.
“Daryl. Bukankah Luisiana terdengar terlalu panjang? Apa kau keberatan jika kusebut dirimu Lui?” Lui, bukan nama yang kupakai untuk sekadar pemanis. Kusebut dirinya Lui, agar dia mengingatku jauh lebih baik daripada orang-orang yang memanggilnya Luisiana.
Lui gadis Andalusia. Dan kali ini aku harus mengakui bahwa ayah benar. Gadis Andalusia tidak pernah membuatmu kecewa. Gadis Andalusia akan membuatmu jatuh cinta, dan yang harus kau lakukan adalah berusaha menjaga.
*
“Aku ingin tinggal di Santorini.”
Lui dan aku duduk di kapal Sir Marquez, ayah Lui yang merupakan pejabat daerah di Tarifa. Lui ingin tinggal di Santorini, sedangkan aku memilih Negeri Tulip. Lui suka bercocok tanam, sementara aku suka pasir pantai dan air. Kukatakan pada Lui bahwa Santorini dekat dengan pantai.
“Bagaimana kau menanam bunga-bungamu dengan iklim panas pantai, Lui?”
“Kita bisa membawa tanah dari Belanda dan menanam bunga-bungaku di Santorini.”
Aku tertawa pelan. Kemudian Lui menyebutkan bunga-bunga yang hendak ditanamnya. Satu per satu, dimulai dari nama-nama bunga yang familiar, berlanjut ke bunga-bunga asing. Dalam ceritanya, suaranya perlahan melambat. Lui selalu seperti itu. Dia akan melambatkan tempo ucapannya ketika memikirkan sesuatu.
“Forget-me-not.”
“Apa itu?”
“Begini, jika aku mati lebih dulu, tolong tanam forget-me-not di samping makamku, biarkan dia tumbuh lebat. Jika tak cukup humus, kau beri pupuk sesering mungkin.”
“Jangan bicara aneh-aneh!”
Wajahku berubah serius, sementara wajahnya ganti tertawa. Menggodaku.
Lui selalu begitu. Dia gemar menakuti-nakutiku. Leluconnya yang paling sering digunakan adalah tentang kepergian. Pernah dia berkata akan pergi dari Tarifa, meninggalkan Andalusia dan berjalan kaki melewati Morocco kemudian berjalan terus hingga menemukan ujung dunia. Pernah sekali lagi dia berkata bahwa usianya tak akan lama, maka ia memintaku mengajarinya bagaimana cara mencinta. Maka kukatakan bahwa kini ia tengah melakukannya.
Aku akan menjadi orang yang paling kesal ketika dia berbicara seperti itu. Saat itu, detik berikutnya, Lui menunjuk ke arah garis horizon. Ada ekor paus bongkok menyembul dari permukaan air. Tak jauh dari sana, sekawanan lumba-lumba berenang dengan indah. Lui tak suka lumba-lumba, tapi ia mencintai paus bongkok. Yang selalu muncul di Selat Gibraltar ketika kami bersama, namanya Smith. Jangan tanya dari mana Lui bisa membedakan Smith dan yang paus lainnya.
“Itu Smith!”
“Bukan, Lui. Dia bukan Smith!” ujarku.
“Aku ingin menjadi Smith, mencintai sekali. Tapi aku tak ingin hidup sendiri seperti dirinya. Kau, kau harus menemaniku, Dar.”
“Tapi itu bukan Smith, Lui.” Aku hanya mengalihkan pembicaraan. Sungguh, aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan sebelumnya mengalir, dan aku tidak ingin melanjutkannya.
“Oh, ayolah, Dar. Siapa yang mengenal Smith sejak kecil? Itu Smith dan dia sendirian, dan aku tidak ingin menjadi seperti Smith,” komentarnya.
Tidak akan. Aku takkan membuat Lui sendirian seperti Smith. Untuk meyakinkannya, kudaratkan kecupan di kening Lui, dan terdengar lengkingan Smith dari kejauhan. Sobat besar itu iri rupanya.
*
Gadis Andalusia akan membuatmu jatuh cinta, dan di saat yang sama akan membuatmu menderita. Jelas saja, mereka menggenggam hatimu erat-erat, kemudian menghancurkannya sampai halus dan jatuh seperti pasir yang lolos dari celah-celah jari. Begitu rasanya ketika Lui tiba-tiba menghilang.
Buket bunga berwarna biru—forget-me-not—dan secarik surat di kertas berwarna cokelat ada di mejaku pagi itu. Padahal hari itu, aku baru saja berniat menunjukkan Santorini kecil di Tarifa, dengan bangunan putih yang memenuhi sekitaran. Tidak perlu jauh-jauh ke Santorini. Maka kuputuskan membeli sebuah rumah putih di antara surga di Tarifa tersebut.
Tepat sebelum Lui menghilang.
Dalam surat, dia bilang takkan lama. Dia ingin ikut berlayar, mengarungi laut bersama ayahnya. Dia bilang akan menyampaikan salamku pada Smith, sementara aku sama sekali tidak menitipkan salam.
Lui menyambutku ketika tiba di Selat Gibraltar. Mengapa kini aku harus menunggunya di tempat yang sama?
*
Benteng-benteng tua dekat pantai mulai menatapku iba. Mereka pikir aku sama. Berdiri mematung sambil menatap riak permukaan laut yang tidak berarti. Buket bungaku masih segar. Kupetik dari halaman rumah Lui sebelum datang ke pantai. Aku beranjak ke tengah lautan, ke tempat di mana aku merasa lebih dekat dengan Lui.
Ayah Lui berkata, gadis Andalusia bukanlah seseorang yang pantas untuk ditunggu. Lui bukan pergi ke Morocco kemudian berkelana ke ujung dunia. Lui kembali ke tempat yang aku tak yakin berada di mana. Ketika aku bertanya pada ayah Lui, beliau akan menjawab bahwa Lui menemani Smith di laut, meraih kebebasannya.
Dadaku sesak, seperti kantong berisi air yang diikat kemudian hendak kaupecahkan. Sayangnya, aku tidak bisa meledak seperti kantong ilustrasiku. Aku tidak bisa membedakan apakah dada dan hatiku penuh sesak atau kosong melompong. Perasaannya terlalu mirip dan aku terlalu dungu untuk menerjemahkannya.
Lui, aku tak bisa menanam forget-me-not di makammu. Tidak akan ia tumbuh rindang. Maka sebulan sekali, kukirimkan bunga-bunga biru itu untuk menghias tempatmu. Tempatmu akan jauh lebih biru dengan bungaku.
Dari kapalku yang melayang di tengah laut, Smith mengibaskan ekornya, menampakkan diri sambil mengeluarkan lengkingan pilu. Dia berduka. Sama berdukanya sepertiku.
“Lui, mengapa kau tidak pernah mengatakannya padaku. Jika aku harus menjadi Smith pada waktunya.”
Ah, tidak. Kini hanya aku yang sendiri. Lui, semoga kau bahagia di tempat barumu, bersama Smith. Aku menyayangimu.
END
n.b. tulisan pernah dimuat di bloomingintowords.wordpress.com
Leave a Reply