Kamu adalah orang pertama yang selalu membuatku iri, tetapi entah mengapa aku tetap menyukaimu.
∞
Dear D,
Ada dua hal yang saling bertolak belakang ketika aku memikirkanmu. Sisi iblis dalam diriku berkata bahwa aku iri padamu. Tentu saja untuk sejuta alasan yang telah kusortir baik-baik. Dari sekian banyak hal yang tidak kumiliki, banyak hal dalam dirimu yang kuharap bisa aku miliki.
Pertama, kamu supel dan terbuka. Kamu menerima banyak orang untuk masuk dalam hidupmu, kamu tidak membangun tembok besar-besar—yang tentunya sulit dirobohkan—seperti diriku. Kamu pasti tahu seberapa besar keinginanku menjadi pribadi seperti itu. Dan setiap kali melihatmu, sungguh, aku pikir aku ingin seperti itu.
Kedua, kamu selalu menyukai belajar. Tahukah kamu bahwa sejak lama, aku selalu merasa takut. Bukan takut tersaingi olehmu karena aku tahu kemampuanku di bawahmu, jadi bagaimana bisa aku bersaing denganmu. Kamu hanya suka belajar, sementara aku tidak. Yang membuatku iri adalah, karena dulu aku juga menyukainya. Ya, belajar. Tetapi entah mengapa kini semuanya berubah untukku.
Ketiga, kamu baik. Klise. Tapi kamu memang benar-benar baik. Kamu seperti malaikat dan setiap kali aku merasa kamu baik, aku berpikir bahwa diriku jahat. Terlebih ketika aku dengan ketidakpedulianku pada sekitar.
Keempat, kamu photogenic. Kamu mudah tersenyum dan mudah disukai secara alami. Berbeda denganku yang tidak mudah ‘disukai’ orang. Dalam artian, aku tidak mudah tersenyum. Aku tidak mudah bicara. Aku tidak mudah berkenalan dengan orang-orang baru. Aku, terlalu tertutup bahkan untuk memulai menjadi sosok yang lebih terbuka.
Kelima, kamu punya keluarga yang bahagia. Keluarga idaman yang pastinya diimpikan oleh segelintir orang sepertiku.
Keenam, kamu pintar menabung.
Ketujuh, kedelapan, kesembilan, dan seterusnya. Aku tidak ingin menyebutkannya lagi. Karena menyortir satu per satu hal-hal yang membuatku iri itu hanya akan membuatku merasa lebih buruk lagi.
Sayangnya, dari semua daftar yang ada dalam dirimu yang kuharap juga kumiliki, aku hanya mengubahnya menjadi sebuah kekaguman. Kamu adalah orang pertama yang selalu membuatku iri sambil tetap menyukaimu.
Aku pernah mengatakannya dulu, seseorang yang kukagumi adalah dirimu. Seseorang yang menjadi panutan, tidak selamanya harus tokoh-tokoh besar seperti guru besar, ilmuwan, dan lain sebagainya. Tidak perlu juga orang yang lebih tua dari kita. Sederhana, orang yang menjadi panutan untukku adalah dirimu.
Tapi lebih daripada itu, kamu adalah saudara. Bukan hanya panutan, tetapi seseorang yang selalu berada di sampingku. Seseorang yang bertengkar setiap hari, kemudian kembali berdamai hanya dengan sebuah pelukan. Seseorang yang berbagi apa pun tanpa segan. Seseorang yang tidak segan menegurku jika aku membuatmu kesal.
Aku takut ketika kamu berubah sedih, atau menjadi pendiam ketika kamu merasa terganggu. Tetapi tak pernah kamu berkata apa pun. Ketika itu terjadi, aku sungguh tidak pernah tahu harus bagaimana. Yes, I’m too clueless for something like that. Dan aku akan berujung diam, dan ketika aku diam, aku bisa bertahan diam dalam jangka waktu lama. Oleh sebab itu aku takut, oleh sebab itu aku memilih segera bertanya ketika kamu yang memilih diam. Agar aku tidak membangun dinding kaca di hadapanmu. Dinding kaca yang membuatku melihatmu, tetapi tidak bisa berbicara denganmu. Aku benci itu.
Kamu tidak suka menulis sepertiku, maka dari itu aku akan memelukmu erat jikalau tulisanku lolos di sebuah perlombaan. Kamu bisa ganti memelukku ketika kamu berhasil mencapai satu targetmu, seperti lulus ujian atau berhasil melakukan sesuatu. Aku akan membuatkan sebuah tulisan untuk hari ulang tahunmu, kemudian kamu bisa membuatkan sulaman untukku.
Kita suka genre lagu yang berbeda. Kita menyukai makanan yang berbeda. Kita jatuh cinta pada drama yang berbeda. Kita punya hobi yang berbeda. Dan semua perbedaan itu membuatku berterima kasih. Meskipun frekuensi kita terkadang berbeda, percaya atau tidak kadang aku membutuhkanmu untuk menenangkanku. Bagaimana denganmu, aku tidak tahu. Lagipula aku bisa melakukan apa untuk hidupmu? Rasanya hampir-hampir tidak ada.
Lewat surat ini, aku ingin berkata maaf. Atas semua keluh kesah yang selama ini sering kulemparkan padamu. Mungkin jika diibaratkan benda, aku sama rumitnya dengan benang kusut dan seringkali kamu malah jadi orang yang kupaksa untuk meluruskanku. Tidak bisa. Benang-benang kusut seperti aku harusnya memang meluruskan dirinya sendiri, agar tidak membuat orang lain kesal.
Tapi sesungguhnya, setiap waktu di mana aku mencapai titik terendahku kemudian menuturkan semua padamu, kamu mungkin tidak pernah tahu bagaimana leganya diriku. Bagaimana aku ingin menangis seketika karena separuh bebanku mendadak seperti terangkat. Aku bahkan tidak membutuhkan terapis jika kamu ada di dekatku. Aku tahu itu menyusahkan. Terima kasih, sudah mau direpotkan olehku.
Maaf, karena selama ini aku selalu menjadikanmu pendengar untukku, tetapi belum cukup menjadi pendengar yang baik untukmu. Maafkan aku karena aku menyebalkan, berbicara tanpa berpikir, kemudian membuatmu sakit hati.
D, biasanya ketika kita berpisah jauh, tidak akan ada komunikasi. Aku tahu kamu bukan tipe orang yang bisa berkomunikasi secara verbal dengan baik. Tetapi aku berharap kita selalu bersama. Entah dua tahun, tiga tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun lagi, jangan menghilang. Berbicaralah lebih banyak padaku.
Terkadang, kesepian terasa tidak menyenangkan, D. Dan dari kesepian itu, lahirlah harapan akan adanya seseorang yang merobohkan dindingku sedikit demi sedikit. Dari harapan itu, tumbuh ekspektasi. Kemudian ketika aku berekspektasi penuh pada seseorang, menganggapnya istimewa dan akhirnya aku hanya mendapatkan kekecewaan setelah mereka tidak bertemu ekspektasiku. Setelah itulah tembokku akan semakin tinggi.
Aku tidak berharap apa pun padamu. Karena aku hanya ingin belajar menyayangi, belajar menerima tanpa ekspektasi apa pun. Suka atau tidaknya kamu padaku, aku tidak akan memaksa. Bukankah manusia tercipta bukan untuk memuaskan semua pihak? Manusia bukan alat pemuas dan yang dapat kita lakukan hanyalah berusaha menjadi yang terbaik.
Terima kasih, D.
Terima kasih karena telah menjadi seseorang yang mendengarkanku. Yang mendengarkan keluhan tentang emosi kompleks yang bahkan aku sendiri tidak mengerti. Maafkan kerumitanku. Kamu tidak perlu bingung akan itu, biar aku sendiri yang menyelam dalam kompleksitas diri dan emosiku. Kamu cukup tetap di situ dan siap kupeluk jika aku sudah tidak mampu bertahan.
Love,
your sister-from-another-mother
Leave a Reply